Followers

My Blog

Anda pengunjung ke

Vocation

Vocation
Kota tua Ampenan [bukan sisa perang]
Diberdayakan oleh Blogger.

Vocation

Vocation
Sisi lain kota tua Ampenan
Sabtu, 26 September 2009

Daya Tarik Radikalisme Islam

Kita tidak pernah mendengar pengakuan jujur dari Washington bahwa fenomena radikalisme di mana pun, termasuk radikalisme Islam bersangkut-paut dengan kebijakan luar negeri Amerika yang imperialistik. Sampai detik ini yang kita dengar hanyalah teror di Indonesia dan di beberapa belahan dunia Islam lainnya selalu dikaitkan, dituduhkan, dan atau dilakukan oleh kelompok teroris bernama Alqaeda.
Bukankah kita tidak buta bahwa Alqaeda sesungguhnya adalah simpul dan jejaring yang berkaitan dengan kebijakan Amerika terhadap bahaya merah pada masa perang dingin yang silam? Alqaeda sengaja dibentuk oleh AS untuk menghancurkan Uni Sovyet di Afghanistan. Personelnya terdiri dari pemuda-pemuda Muslim yang berasal dari berbagai negara Islam, termasuk Indonesia.
Karena didasari atas solidaritas Islam atas Afghanistan, para pemuda dari berbagai belahan dunia masuk ke Afghanistan. Sebelum mereka diterjunkan ke medan perang, mereka dilatih terlebih dahulu oleh CIA.
Paska bubarnya Uni Sovyet petaka kemudian timbul, Alqaida tidak otomatis bubar. Jaringannya tetap aktif. Kita tidak tahu persis, apakah ada kesengajaan terhadap pembiaran Alqaeda, sambil terus memompanya melakukan aktivitas teror dan membuat ketakutan massal di seluruh dunia.
Kita juga tidak bodoh untuk mengetahui bahwa teror biasanya menjadi salah satu skenario untuk pra kondisi di dalam menata era baru yang diinginkan oleh negara imprialis. Kita pun pantas bertanya, siapakah sebenarnya yang mengambil keuntungan dari ketakutan massal yang diklaim dilakukan oleh organisasi misterius Alqaeda tersebut?
Jawabannya siapa lagi kalau bukan para penguasa yang bertahta di Washington sana. Yang paling menderita dari sandiwara yang kejam ini adalah umat Islam yang dijadikan sebagai korban. Umat Islam dipaksa terlibat memainkan lakon yang bukan miliknya oleh penulis skenario dan sutradara yang bengis. Dan mungkin Nurdin kebetulan diberi peran antagonis sebagai penghancur fasilitas AS di Indonesia.
Asumsi ini didasarkan pada keganjilan dari rekomandasi yang diturunkan oleh RAND (sebuah think thank berpengaruh di Amerika Serikat). Keganjilan rekomendasi itu menegasikan faktor kebijakan AS yang imperialistik. Bermula dari Angkatan Udara AS meminta RAND Project AIR FORCE (RAF) untuk mengkaji gejala-gejala yang berpotensi mempengaruhi kepentingan AS dan situasi keamanan di dunia Islam.
Para peneliti RAND mengembangkan kerangka analisis untuk mengidentifikasi orientasi ideologis utama di dunia Islam, melihat perpecahan di antara kelompok-kelompok Islam, dan melacak akar radikalisme Islam. Kerangka kebijakan ini akan membantu para pembuat kebijakan AS dalam merancang strategi politik dan militer yang diperlukan guna merespon perubahan kondisi di kawasan dunia Islam.
Hasilnya, terdapat 11 rekomendasi yang diberikan untuk mencegat laju daya tarik penyebaran radikalisme Islam. 1. Mempromosikan jaringan moderat untuk melawan gagasan-gagasan radikal; 2. Merusak jaringan Islam radikal; 3. Membantu reformasi pesantren dan mesjid; 4. Memperluas kesempatan ekonomi; 5. Mendukung Islam Madani (Civil Society); 6. Meniadakan sumberdaya kaum ekstremis; 7. Menyeimbangkan perang melawan terorisme dengan kebutuhan untuk mempromosikan stabilitas di negara-negara Muslim moderat; 8. Berupaya melibatkan umat islam dalam proses politik; 9. Kerjasama dengan komunitas Muslim; 10. Membangun kembali hubungan militer dengan negara-negara kunci; 11. Membangun kemampuan militer AS yang ampuh (lihat Al-Wa’ie, No.61 Tahun VI, 1-30 September 2005, h. 67).
Kesebelas rekomendasi tersebut, tidak ada satu pun rekomendasi kepada AS sendiri untuk mencoba mengevaluasi internalnya, yang bagi kalangan gerakan Islam menjadi pangkal musabab munculnya daya tarik radikalisme Islam itu sendiri. Padahal sepak terjang AS yang tidak adil kepada dunia Islam pantas untuk diakui sebagai faktor penting bagi berkembangnya radikalisme itu sendiri. Radikalisme hanyalah respon ideologis bagi kesewenang-wenangan AS terhadap dunia Islam. Aneh, mengapa hal ini tidak direkomendasikan?
Terlihat betapa AS tidak tulus keinginannya di dalam menyudahi konflik dengan dunia Islam. Jika 11 rekomendasi itu yang terus ditempuh AS di dalam menyudahi radikalisme, dipastikan radikalisme yang merebak di dunia Islam tidak akan pernah mati hingga ke akar-akarnya sebagaimana yang diinginkan AS. Selagi AS masih dengan performance koboy seperti sekarang ini, selama itu pula radikalisme tumbuh dan berkembang di mana-mana, dan pasti tidak hanya berlangsung di dunia Islam.
Nurdin telah tewas, dan mungkin tidak lama lagi akan muncul Nurdin-nurdin yang lain jika saja pihak AS tidak mau mencoba memahami secara lengkap faktor-faktor penyebab dan akar-akar radikalisme Islam. AS hanya ingin sampai kepada solusi pemecahan yang prematur dan memihak kepada kepentingan sempit AS. Wallahua’lam
*Alumni Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia.
read more "Daya Tarik Radikalisme Islam"
Kamis, 17 September 2009

Menafsir Fenomena Tewasnya Nurdin M. Top

Tiba-tiba saja masyarakat tersentak dengan aksi para teroris di Indonesia. Tidak ada masa sebelumnya di Indonesia di mana seorang rela bunuh diri dalam hal meraih ”popularitasnya”. Dan tidak ada aksi teror yang secara khusus dikomandoi oleh para pribumi Indonesia, biasanya kalau bukan WNA mereka adalah para keturunan WNA. Para pribumi Indonesia bukanlah orang yang tidak bisa memimpin atau seorang pengecut, melainkan mereka emoh terhadap kekerasan, dan mereka yang ”nekat” biasanya tidak mendapat simpati masyarakat. Jika pun ada pribumi Indonesia yang nekat mereka hanya ”berani” pada tempat-tempat terbatas seperti Afganistan. Kali ini, dari desa sampai kota, dari anak-anak kecil sampai orang-orang tua, dari preman sampai Kyai, dari kuli bangunan sampai politisi Senayan, gempar dengan terornya Nurdin M. Top. Di warung-warung kopi jalanan yang berdebu, kafe-kafe, halaqah-halaqahnya para Kyai, sampai istana, gosip Nurdin menjadi menu obrolan yang paling menarik. Orang pun serentak bertanya-tanya: fenomena apakah ini?
Jelas sekali bahwa hal ini merupakan fenomena biasa dari budaya pop (pop culture). Sebagaimana dalam budaya pop, sebuah peristiwa terjadi secara fenomenal dan menghipnotis banyak orang. Namun biasanya, durasi dari peristiwanya terjadi secara cepat dan tidak berlangsung lama. Apa yang kita saksikan dari fenomena Nurdin, tidak lebih dari pada fenomena biasa dari pop culture tersebut.
Untuk melihat secara jernih fenomena Nurdin ini, sebaiknya kita perlu mengurai unsur-unsur yang terlibat di dalam fenomena Nurdin tersebut. Dalam fenomena Nurdin ini, setidaknya ada empat unsur yang terkait: Nurdin sendiri sebagai icon dan sumber berita; media; masyarakat; dan komentar-komentar tokoh atau orang pilihan media sebagai penyedap cita rasa berita.
Pertama, Nurdin sebagai sumber berita, bintang dan icon. Secara intrinsik, Nurdin memang memenuhi syarat sebagai sumber berita yang dapat dijual untuk konsumsi publik. Setidaknya secara teoritis, tiga unsur yang laris dijual kepada publik, yakni daya tarik, rasa ingin tahu (kepenasaran), dan sensasi, ternyata ada pada Nurdin. Dengan potensi taqiyah [meminjam istilah syi’ah] yang ia miliki, terutama dalam hal kemisteriusannya membuat masyarakat tidak tahu mana kawan, mana lawan. Dia [Nurdin] sadar betul, bahwa titik kekuatannya terletak pada kelihaiannya mempermainkan logika masyarakat dan aparat.
Dalam hubungan produksi atau industrial, sebetulnya Nurdin merupakan bahan baku yang direproduksi oleh media (produsen) untuk kepentingan keuntungan material si pemodal media itu sendiri dengan cara menjual daya tarik Nurdin kepada konsumen. Media dengan cara yang halus setiap saat dapat mengeksploitasi Nurdin untuk diperdagangkan. Sementara Nurdin tidak bisa berbuat banyak, kecuali menuruti skenario media yang sering diatasnamakan sebagai kemauan konsumen. Yang sulit adalah apabila Nurdin sendiri sadar dan senang dengan skenario pihak media itu. Sebab bagaimanapun, antara Nurdin dengan media terjadi hubungan yang saling menguntungkan. Pihak media membutuhkan berita yang laris dijual, sedangkan Nurdin butuh media untuk mempublikasikan dirinya.
Kedua, unsur yang terlibat langsung dari proses pemunculan fenomena Nurdin adalah media. Di balik media, sudah barang tentu ada kepentingan pemodal. Pemodal hanya berkepentingan bagaimana melipatgandakan keuntungan dari bisnis media. Dengan munculnya fenomena Nurdin ini, tentu saja hal itu merupakan makanan yang empuk bagi media untuk meningkatkan jumlah konsumennya (pembaca, pendengar maupun pemirsa). Karena itu, semakin kontroversial sebuah peristiwa, semakin bagus kesempatan bagi media untuk meningkatkan rating popularitasnya.
Adalah merupakan berkah bagi media, jika sebuah peristiwa bersifat kontoversial, apalagi jika kontroversi itu berlangsung lama, media akan mendapatkan kesempatan untuk mengkonsolidasikan konsumennya sekaligus untuk membentuknya. Tidak ada bedanya antara media yang berada di barisan yang pro maupun yang berada di barisan yang kontra, semuanya mendapat keuntungan dari sebuah berita yang kontroversial. Begitulah yang kita saksikan hari ini atas teror Nurdin M. Top.
Ketiga, konsumen atau masyarakat penikmat berita. Di samping sumber berita, konsumen merupakan pihak yang lemah di hadapan media. Dia tidak punya kekuasaan di hadapan media kecuali untuk memilih dua kemungkinan: mengkonsumsi atau tidak. Dia tidak mempunyai kekuasaan untuk menentukan berita. Sering sekali terjadi bahwa media dengan cerdik mengeksploitasi kebingungan dan kepenasaran masyarakat (publik) untuk suatu target keuntungan berupa peningkatan jumlah pembaca (media cetak) ataupun pemirsa (media televisi).
Keempat, komentar-komentar para tokoh masyarakat atau orang pilihan media. Biasanya tokoh-tokoh yang diminta komentarnya oleh media adalah mereka yang memang populer, otoritatif, dan terutama menguntungkan bagi media yang bersangkutan. Itulah mengapa komentar-komentar para tokoh atau orang biasa pilihan media tidak lebih merupakan bumbu penyedap rasa saja dari sebuah berita.
Fenomena Nurdin Sarat Makna Simbolik
Sekarang Nurdin telah tewas, dan [mudah-mudahan tidak terjadi lagi] mungkin tidak lama lagi akan muncul Nurdin-nurdin yang lain [atau dalam bentuknya yang lain], jika saja pemerintah, para elit, dan penegak hukum negeri ini tidak waspada terutama terhadap pemantik [akar utama] terjadinya terorisme di negeri ini, seperti ketidak adilan, korupsi, atau bertekuk lututnya negara ini di bawah pengaruh [baca: politik imprialis] Amerika, dan sebagainya. Suatu saat mungkin saja Nurdin dan para pengantinnya menjadi legenda jika saja agenda keadilan, pemberantasan korupsi di negeri tak kunjung terjadi, atau penghambaan terhadap AS tak jua dihentikan. Nurdin dapat dipastikan menjadi sosok yang mendapatkan tempat istimewa di mata masyarakat. Nurdin yang semula dipersepsikan sebagai biang keladi teror, kini setelah melihat kinerja pemerintah, para elit, dan penegak hukum di negeri ini lamban, maka bisa saja Nurdin dan para pengantinnya bergeser ke posisi yang terhormat SEBAGAI PAHLAWAN.
read more "Menafsir Fenomena Tewasnya Nurdin M. Top"

KPK Versus Kepolisian, Lalu Apa Setelah Ramadhan?


Sejatinya berpuasa selama sebulan penuh di bulan Ramadan akan memberikan dampak takwa dengan perubahan pada sikap dan perilaku individu maupun masyarakat. Tetapi seperti yang sering kita saksikan pada bulan-bulan Ramadan sebelumnya, Ramadan hanyalah sebatas bulan pengekangan kebebasan mengekspresikan hawa nafsu lapar, haus, dan ”dahaga”. Tersebab banyak di antara mereka merasakan seolah-olah telah lepas dari kekangan Ramadan, sehingga tidak mengherankan jika bulan Syawal diekspresikan bagai bulan pesta pora dan hura-hura, merayakan kebebasan dari kekangan psikologis dan sosiologis dengan beramai-ramai ”kembali” menjegal KPK. Padahal ketika Ramadan mereka tampak demikian relijius.
Gejala sosial keagamaan yang unik ini sebetulnya merupakan sinyal bahwa kehebohan berpuasa Ramadan tidak banyak memberikan pengaruh yang berarti bagi perubahan sikap dan perilaku yang sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi. Jika ingin mencari contoh terbaik dari fenomena ini, perhatikan perilaku para elit politik dan para penegak hukum di negeri ini yang notabenenya adalah Muslim. Gejala seperti ini tidak hanya terjadi pada figur-figur publik, tetapi juga menular dan berkembang di tingkat masyarakat umum. Fenomena ini menjadi dasar yang mencerminkan bahwa paham keagamaan masyarakat Islam Indonesia begitu artifisial atau lipstik semata.
Fenomena keberagamaan yang artifisial ini merupakan cermin dari cara keberagamaan yang sekuler, dimana antara waktu beribadah dipisahkan sedemikian rupa dengan waktu di luar ibadah. Dengan kata lain ketika waktunya beribadah, maka beribadahlah dengan benar. Jika waktunya ”menjegal” mereka yang memerkan kebusukan, maka lakukanlah. Paham sekuler seperti ini menyebabkan ibadah tidak memberikan dampak takwa berupa perubahan sikap dan perilaku termasuk kesungguhan segenap bangsa ini dalam memberantas korupsi.
Keberagamaan yang artifisial atau lipstik ditunjukkan dengan sikap dan perilaku yang tidak konsisten. Sikap inilah yang ditunjukkan oleh kebanyakan masyarakat muslim negeri ini sehingga ketika Ramadan tiba mereka berpuasa dan mengisi hari-harinya dengan ibadah, tetapi begitu Ramadan usai mereka kembali seperti sediakala, berbuat maksiat dan korup. Pada kasus lain, seorang elit politik yang tak terhitung kalinya menunaikan umrah dan haji, tetapi ibadanya itu sama sekali tidak dapat menggetarkan hatinya untuk tidak memakan uang rakyat dengan menghentikan perbuatan korupsinya. Bahkan mereka menggunakan harta rakyat sebagai ongkos haji, atau kepergiannya ke tanah suci dijadikan sebagai tameng agar bebas dari tekanan sosiologis sebagi koruptor.
Keberagamaan yang sekuler seperti ini seyogyanya menjadi keprihatinan bersama. Di sinilah seharusnya peran ulama seperti mereka yang tergabung dalam MUI untuk konsisten dan terus menerus menyuarakan fatwa dan menumbuhkan-kembangkan gerakan anti korupsi, dan tidak berhenti sebatas fatwa belaka atau pemberian label halal. Gerakan pertama yang mungkin bisa dilakukan MUI adalah meluruskan paham keberagamaan para elit dan penegak hukum yang mencoba memandulkan peran KPK, tersebab mereka keliru dalam menafsirkan ibadah yang [seharusnya] tidak berdasarkan atas kebutuhan lembaga maupun mood politik.
Setiap Ramadan gegap gempita dengan tarawih dan tadarus di masjid-masjid serta kegiatan-kegiatan religius lainnya, kerap dilakukan di negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia ini. Acara televisi penuh dengan ceramah-ceramah keagamaan. Pesantren kilat di mana-mana. Tetapi Indonesia masih tetap negara terkorup kelima di dunia. Dan mungkin tingkat kriminalnya juga tertinggi di seluruh negara Islam. Benar-benar paradoks.
Beberapa hari lagi bulan Ramadan akan berlalu, rasanya sebelum itu diperlukan refleksi sejauh mana kira-kira Ramadan memberikan pengaruh kepada perubahan sikap dan perilaku masyarakat dan para elit kita dalam memberantas korupsi. Apakah tuntutan puasa Ramadan yang hendak membentuk orang yang berpuasa menjadi insan yang bertakwa menjadi terbukti setelah melewati bulan yang istimewa ini? Mungkinkah terjadi perubahan sikap dan perilaku yang lebih takwa di tengah para elit kita?
Jika pertanyaan tersebut menunjukkan jawaban yang sama dengan ramadan-ramadan sebelumnya, berarti benarlah apa yang disinyalir oleh Rasulullah dalam sebuah pernyataannya yang berulangkali disitir dalam kultum, ceramah, dan khutbah Jumat di bulan ini, “Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa pun dari kegiatan puasanya selain lapar dan dahaga saja.” Wallahu a’lam
read more "KPK Versus Kepolisian, Lalu Apa Setelah Ramadhan?"
Rabu, 09 September 2009

Selayang Pandang Etnografi Lombok


Etnik Sasak merupakan penduduk asli dan kelompok etnik mayoritas, mereka meliputi lebih dari 92% dari keseluruhan penduduk Pulau Lombok. Kelompok-kelompok etnik seperti Bali, Samawa, Arab, Cina, Timor dan lain-lain adalah pendatang, dan di antara mereka orang-orang Bali merupakan kelompok etnik terbesar, meliputi sekitar 3% dari keseluruhan penduduk Pulau Lombok. Jumlah kedua terbesar dari kelompok pendatang itu adalah orang-orang dari etnik Samawa dari pulau Sumbawa bagian barat.
Sebagian besar orang Bali terutama bermukim di Lombok Barat dan Kota Mataram, dan ada juga sedikit bertempat tinggal di Lombok Tengah. Etnik Bali yang tinggal di Lombok adalah keturunan dari para penakluk yang datang dari Karangasem pada abad ke-17 lalu. Jumlah orang-orang Bali di Pulau Lombok tidak lebih dari 70.000 jiwa, sekitar 53.842 orang tinggal di Kota Mataram. Orang-orang Samawa bermukim di Lombok Timur. Orang-orang Arab hampir terkonsentrasi tinggal di Ampenan di wilayah permukiman khusus yang disebut Kampung Arab, sedangkan orang Tionghoa atau Cina yang mayoritas pedagang tinggal di pusat-pusat perdagangan dan pasar, seperti di Cakranegara, Ampenan dan Praya.
Orang-orang Bugis yang jumlahnya cukup banyak dan merupakan migran yang cukup lama tinggal di Lombok, umumnya mereka hidup sebagai nelayan dan tinggal di hampir sepanjang pesisir pantai Pulau Lombok, mulai dari pantai Sekotong, Gili Gede, Kampung Bugis, dan Pondokperasi, Ampenan, sepanjang pantai Pemenang, Tanjung, hingga Labuhan Carik (Kabupaten Lombok Barat), Tanjung Luar, Labuhan Lombok, Labuhan Haji (Kabupaten Lombok Timur). Selain itu mereka juga banyak mendiami pulau-pulau kecil di sekitar pulau Lombok seperti Gili Terawangan, Gili Meno, dan Gili Air.
Sedangkan komunitas Jawa sejak zaman Belanda dan pasca kemerdekaan menempati permukiman khusus Kampung Jawa yang terdapat di Mataram, Cakranegara, dan Praya serta Selong. Ampenan, selain permukiman khusus orang Arab, terdapat pula Kampung Banjar, Kampung Melayu, Kampung Bugis. Selain itu pemukiman pemeluk Nasrani umumnya berasal dari keturunan Timor, disebut Kampung Kapitan. Masing-masing komunitas dengan kampung khusus itu dikepalai oleh tetua masyarakatnya yang disebut Kapitan.
Mengenai sejarah atau asal-usul etnik Sasak, masih menjadi perbincangan di antara para ahli sejarah, sebab sampai saat ini belum ada yang melakukan penelitian yang seksama mengenai hal tersebut. Namun berangkat dari bukti-bukti etnografis yang sederhana dapat dikatakan bahwa, etnik Sasak adalah bagian dari keturunan Etnik Jawa yang menyeberang ke Pulau Bali kemudian ke Pulau Lombok, dan diperkirakan mulai sejak zaman Kerajaan Daha, Keling (Kalingga), Singosari sampai pada zaman Kerajaan Mataram Hindu pada abad ke 5-6 Masehi. Lebih-lebih setelah hampir runtuhnya Kerajaan Majapahit di penghujung abad ke-15 atau tepatnya sekitar tahun 1518–1521 di saat memasuki era Islamisasi, penyeberangan migran Jawa ke Lombok semakin meningkat.
Duplikasi nama-nama tempat maupun nama-nama orang antara Jawa dan Lombok dapat menjadi bukti akan hal ini, seperti Kediri, Kuripan, Keling, Jenggala, Pajang Mataram, Gresik, Surabaya, Medang, Menggala, Wanasaba, Suralaga, Pringgabaya, Kutaraja, Suranadi, Sukaraja, Kutara, Peneraga, dan lain-lain. Juga, dalam hal penamaan orang terlihat dengan jelas pengaruh dari nama-nama Jawa, seperti Raden Wiracempaka, Mamiq Diguna, Loq Swarna, Baiq Diah Purwanti, La Sumirah, Setiawati, dan lain-lain.
Hal itu juga terlihat pada hal-hal yang berkaitan dengan bahasa, kesenian rakyat, tata nilai, adat istiadat, yang relatif memiliki kesamaan, dan dipengaruhi oleh budaya Jawa. Duplikasi tulisan huruf Jawa yang kemudian popular disebut Jejawen/Jejawan dalam huruf Sasaka dengan bahasa Kawi menjadi tulisan yang digunakan dalam kitab-kitab lontar Sasak yang disebut takepan.
Adapun bukti tertulis yang menandai bahwa Etnik Sasak mempunyai hubungan dengan Etnik Bali adalah penemuan nekara perunggu yang bertuliskan “Sasak dana prihan srih Jawa nira” (benda ini pemberian orang-orang Sasak). Kerangka perunggu itu berangka tahun 1077 Masehi, bertuliskan huruf kuadrat. Nekara itu ditemukan di Desa Pujungan Tabanan Bali. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian arkeologi atau hasil ekskavasi di Gunung Piring, Desa Teruwai, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah bagian selatan pada tahun 1976, menunjukkan sekitar 1600-1800 tahun yang lalu, Pulau Lombok telah dihuni orang. Penduduk di kala itu mempunyai kebudayaan yang sama dengan penduduk yang mendiami Gilimanuk Bali dan Pulau Pallawan di Piliphina.
Pada abad ke 5-6 M, migran-migran Jawa yang berasal dari kerajaan Kalingga, Daha, Singosari, berdatangan ke Lombok dengan membawa paham agama Shiwa-Budha. Menyusul setelah itu, kerajaan Hindu Majapahit, Hindu dari Jawa Timur masuk ke Lombok pada abad ke-7 dan memperkenalkan agama Hindu-Budha di kalangan orang Sasak. Pengaruh migran yang membawa agama Shiwa-Budha maupun Hindu-Budha tidaklah signifikan karena setelah dinasti Majapahit jatuh pada abad ke-13 raja Jawa muslim, untuk pertama kalinya membawa agama Islam masuk melalui Gowa Sulawesi dan tiba di Lombok dari arah timur laut. Disusul kemudian oleh orang-orang Makasar (Bugis) dari kerajaan Gowa tiba di Lombok Timur pada abad ke-16 dan berhasil menguasai kerajaan asli Etnik Sasak yakni Selaparang. Pada saat yang bersamaan Kerajaan Gelgel dari Bali berusaha melakukan infiltrasi ke Lombok Barat untuk menguasai Lombok atau kerajaan Selaparang, sekaligus membendung gerak maju kekuasaan dari raja Gowa yang membawa misi Islam Sunni.
Selain konversi orang Sasak Boda ke dalam Islam, secara khusus dapat dilihat bahwa dua kerajaan terakhir inilah yang memengaruhi secara dominan sosial budaya masyarakat Sasak hingga saat ini. Namun secara umum sosial budaya masyarakat Sasak dipengaruhi oleh semua kebudayaan migran yang datang ke Lombok, atau dengan kata lain, kekuatan asing yang menaklukkan Lombok selama berabad-abad sangat menentukan cara orang Sasak menyerap pengaruh-pengaruh luar. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa sosial budaya masyarakat Sasak berkaitan dengan sistem budaya yang kompleks, yang termanifestasi ke dalam bahasa, adat istiadat, tata nilai, busana, sistem kepercayaan, beberapa tradisi dan kebiasaan, nama-nama orang dan tempat, tradisi kesenian, dan permainan rakyat.
read more "Selayang Pandang Etnografi Lombok"

Zakat Mâl Mâlkiyat Izor (expropriation)

Konsep Zakat di dalam Alquran disampaikan dengan beberapa perkataan dalam bahasa Arab yang berakar pada kata zaka. Pengertian kata zaka ditinjau dari sudut bahasa adalah suci, bersih, tumbuh, bertambah, berkah, baik, dan terpuji. Yusuf Qardawi, sesuai dengan lisanul’arab dan beberapa rujukan lainnya, menyatakan bahwa arti terpenting yang dipakai di dalam Alquran dan hadits adalah bertambah dan tumbuh. (Yusuf Qardhawi, 1973, h. 34)
Dalam rumusan fiqh yang sudah dibudayakan selama ini zakat mâl dalam pengertiannya secara umum berarti sejumlah harta benda tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak apabila telah mencapai nishâb, haul, dan atau kedua-duanya. Kalau dipertautkan kembali kedua pengertian tersebut, antara pengertian bahasa dengan rumusan fiqh maka zakat dapat diartikan sebagai kegiatan memperbanyak harta dan melindunginya dari kebinasaan. 
Zakat secara definitif diartikan sejumlah harta tertentu yang terselip di dalam kekayaan yang dimiliki secara riil oleh setiap muslim dan diwajibkan oleh Allah untuk disedekahkan kepada orangorang yang berhak (mustahik) atas harta itu setelah terhitung nisab dan haul, guna membersihkan harta kekayaan dan menyucikan jiwa pemiliknya. 
Setidaknya ada enam unsur yang bisa difahami dalam pengertian ini, yaitu: 
1. Sejumlah harta tertentu yang terselip dalam harta kekayaan;
2. Kekayaan tersebut dimiliki secara riil (nyata); 
3. Yang memiliki adalah seorang muslim;
4. Sejumlah harta tertentu tersebut diwajibkan oleh Allah untuk disedekahkan kepada orangorang Islam yang berhak;
5. Harta kekayaan tersebut telah mencapai nisab dan haul, dan;
6. Bertujuan untuk membersihkan harta kekayaan dan menyucikan jiwa pemiliknya. 
Dalam memahami konsep zakat kita tidak saja dihadapkan pada zakat yang bermakna sebagai substansi atau zakat sebagai kata benda, akan tetapi kata zakat juga berarti kata kerja dengan segala bentuknya. 
Menurut Yusuf Qardawi, lingkaran makna yang melingkupi kata zaka dengan segala derivasinya itu adalah bersih atau membersihkan, sehingga konsep ini memberikan pengertian bahwa kebersihan ekonomi merupakan sunnah yang sangat mendasar dalam manajemen harta, sekaligus menjadi kontradiksi dengan ekonomi kapitalistik dan komunistik. Konsep ini juga dikemukakan oleh Prof. M. Abdul Mannan, M.A., Ph.D. dalam Islamic Economics, Theory and Practice. 
Mâlkiyat Izor merupakan kekayaan yang diperoleh dengan jalan kekuatan sebagai pemilik modal. Atau dalam terminologi Marxis diistilahkan dengan expropriation (pengambilalihan) oleh kediktatoran kelas biasa yang kaya atas golongan masyarakat yang telah bekerja keras. (Ali Asghar Engineer, 2000). Atau, merupakan sejumlah harta yang dalam perolehannya didapatkan melalui eksploitasi, penguasaan terhadap lahan produksi, penguasaan (monopoli) pemasaran, yang memang terjadi dan tidak bisa terelakkan, dan menyebabkan sejumlah orang yang mau tidak mau mesti terpinggirkan. [Contohnya seperti keberadaan mall yang secara tidak langsung mematikan pedagang disekitarnya].
Orang-orang terpinggirkan (tertindas) ini seyogyanya mendapat perhatian ekstra dari MUI, dengan mencoba mendiagnosa kondisi mereka sekaligus mencari resep penyembuhannya, melalui fatwa keberpihakan kepada mereka dengan memfungsikan zakat sebagai sarana utama, yang mengedepankan kemaslahatan sosial kepentingan kaum tertindas ini.
Fungsi utama zakat adalah sebagai pemberdayaan ekonomi ummat demi mengentaskan mereka dari jurang kemiskinan sehingga mereka bisa hidup layak dan mandiri, tanpa menggantungkan nasibnya atas belas kasihan orang lain, (Lihat H. Masjfuk Z, 1997, h. 241) yang pada awal pemberlakuannya hanya diperuntukkan bagi kebutuhan konsumtif saja. 
Dalam perkembangan selanjutnya, bahwa pemberlakuan seperti pada masa awal tersebut dirasakan tidak begitu mampu mendongkrak kondisi mereka, sebagaimana pengalaman Dr. Muhammad Yunus, pendiri Dirut Grameen Bank, dalam pengalaman pribadinya, seperti yang dicatat oleh M. Dawam Rahardjo, ternyata orangorang yang diberinya zakat setiap tahun nasibnya kini tidak lebih baik dari keadaan lima atau sepuluh tahun yang lalu, yaitu tetap miskin. Dibandingkan dengan puluhan ribu orang yang diberi pinjaman produktif. (Lihat M. Dawam Rahardjo, 1999, h. 498)
Dengan memaksimâlkan fungsi zakat sebagaimana fungsi utamanya—sebagai sarana sosial agar terdistribusinya sumberdaya harta kepada orangorang miskin sehingga terciptanya pemenuhan rasa keadilan ditengahtengah masyarakat, maka pengembangan model (sistem) keadilan, serta mengalihkan fungsi—dari komsumtif ke produktif—amat mutlak dilakukan.
read more "Zakat Mâl Mâlkiyat Izor (expropriation)"
Senin, 07 September 2009

Catatan Ketjil dari Nyoenk

Sebelumnya saya mohon ampun [he he bahasa melayu..] karena baru sekarang [mungkin setelah 3 tahun] baru saya jawab “catatan ketjil” pelungguh. Ini pun terjadi sungguh sangat kebetulan. Saya lagi bongkar-bongkar file untuk bahan tulisan, eh ketemu file ”polemik” ini, jadi ya... dari pada tidak dijawab akhirnya saya jawab sekarang aja dari pada terlambat [?!] iya kan? kaaaan.
Terlebih dahulu saya ingin menjelaskan yang dimaksud dengan “Abstraksi”. Secara umum abstraksi memuat kilasan tentang, pertama “apa yang menjadi” concern dalam penelitian (masalah penelitian). Kedua, Abstarksi bertujuan mempengaruhi untuk “menyelam” lebih dalam terhadap fokus penelitian, Oleh karenanya dalam menulis abstraksi dianjurkan menggunakan kata-kata yang simpel dan bisa menjadi pusat perhatian pembaca. Selain itu boleh menggunakan redaksi yang “sedikit” provokatif.

Kiranya Pelungguh perlu membaca lebih dalam tentang hasil penelitian saya, karena dari beberapa catatan kecil tersebut sudah saya tuangkan atau saya tulis dalam beberapa paragraf dan bab.

Mari kita cermati lebih jauh tentang isi tesis saya dan sedikit ”kekisruhan” ini ... sebenarnya penyebaran pemahaman dan pemikiran "wahabi" di indonesia bukan dimulai dari sejak era reformasi bergulir. Namun, sejak jauh hari sebelum indonesia merdeka...(lihat, Proses Transmisi Wahabisme... hal 75)

Yup...itu sangat benar adanya, namun saya dalam penelitian ini tidak memotong kompas dengan menyatakan wahabi muncul [datang] ke Indonesia setelah reformasi, di bab III saya kemukakan bahwa wahabi secara gerakan muncul ketika terjadi persinggungan ”resmi” antara orang Indonesia dengan ”Saudi” dengan MOU pendirian cabang ketiga Ibnu Su’ud University di dunia.

Adapun secara embriotik, kemunculan wahabi bisa dilihat dari sebelum terjadinya perang paderi [jika pelungguh punya kesempatan silahkan buka bukunya Azyumardi Azra ”Jaringan Ulama Nusantara”].
By the way, tesis saya penelitiannya dibatasai tahun yakni dari 1997 sampai dengan tahun 2000, jadi fokus utamanya ya perkembangan wahabi di tahun itu saja..

Nyoenk menulis:
(Om menulis) Dampak nyata dari mengarusnya ajaran wahabi ini di tengah etnik Sasak Lombok adalah munculnya eksklusivisme, keterbelahan secara sosial, dan penampakkan kekhasan identitas kelompok, seperti pakaian ‘resmi’,jubah, peci putih untuk laki-laki, kerudung besar dan cadar untuk perempuan, serta pembatasan interaksi perempuan mereka dengan masyarakat sekitar menimbulkan keresahan ideologis yang cukup meluas.

Catatan tiang, generalisasi om terlalu berani, karena sebenarnya bila kita mau berinteraksi dengan mereka, tidak akan ada masalah. Tetapi karena kecendrungan masyarakat kita yang sudah kadung mendengar hal-hal yang negatif tentang mereka, itulah yang membuat mereka terkesan eksklusivisme, pisah secara sosial dan lainnya. Adapun kecendrungan mereka menggunakan ciri pakaian khas, saya rasa di komunitas lain juga banyak yang seperti itu. Lihat misalnya ciri khas penganut Thariqat Naqsyabandiyah, atau mungkin yang lebih umum seperti ciri khas kaum pesantren yang identik dengan sarung, kopiah dan lainnya.
Adapun anggapan bahwa perempuan mereka membatasi diri dalam beriteraksi dengan masyarakat, saya rasa itu anggapan yang berlebihan, sebab setahu saya mereka hanya tidak ingin perempuan-perempuan muslim untuk tidak terlalu lepas dan bebas dalam berinteraksi dengan lawan jenis, bukan dengan masyarakat secara umum, yang disitu ada perempuan, anak-anak dan lainnya. Bahkan dalam keadaan-keadaan tertentu interaksi mereka dengan laki-laki yang bukan muhrim juga tidak bisa mereka elakkan, seperti dalam jual beli dan lainnya. Jadi, generalisasi seperti yang om gambarkan saya rasa terlalu berlebihan.


Jawab: Yang saya sebutkan di atas berbicara tentang fakta ”persinggungan masyarakat sasak dengan wahabi kelompok ketiga [di tesis ini saya membagi kelompok wahabi menjadi 3 bagian berdasarkan tempat transformasi pengetahuan kewahabiyahan mereka serap]”, berdasarkan pada beberapa kasus kekerasan yang terjadi di beberapa tempat, baik yang tercover media atau tidak [hasil wawancara langsung dengan dengan nara sumber].

Ini dulu deh nanti kita sambung lagi...
read more "Catatan Ketjil dari Nyoenk"
Jumat, 04 September 2009

Tuan Guru versus Wahabi

Studi-studi sosial di pulau Lombok tentang Tuan Guru menunjukkan bahwa Tuan Guru sebagai pemimpin Islam memegang peranan penting dalam menentukan dan mencegah pudarnya jati diri dan kultural agama yang dianut dan dipegang oleh masyarakat. Atmosfir budaya maupun pengetahuan yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam yang dapat menerbitkan rasa tidak aman serta mengancam jati diri masyarakat sebagai muslim yang taat, menjadi alasan masyarakat memelihara hubungan dengan Tuan Guru. (Budiwanti, 2000)
Tuan Guru adalah assigned status dimana predikat ini oleh masyarakat Lombok diberikan kepada mereka yang menguasai dan mengajarkan ilmu dan tata nilai agama. Merujuk pada kata “Tuan” dan “Guru” adalah sebutan kelas sosial yang berada pada lapis tertinggi dalam struktur masyarakatnya. Hal ini menunjukkan terjadinya pelapisan sosial yang bertumpuk dalam matra stigmatik yang diciptakan oleh sistem sosial. (Badrun, 2006)
Tuan memiliki makna dasar, orang yang dianggap mulia, lebih tinggi dan patut dihormati. Sebutan "tuan" dalam masyarakat Sasak juga merujuk pada orang yang telah melaksanakan ibadah haji. Sedangkan "guru" adalah sebutan bagi orang yang telah mengajarkan ilmu dan pengetahuan. Dua kata ini menyiratkan hubungan hirarkial dan dikotomis antara tuan guru dan umat (masyarakat).
Walaupun hasil riset dan karya-karya yang utuh tentang Tuan Guru belum banyak dilakukan—sebagaimana Kiai di pulau Jawa1—namun menurut Badrun (2006) maksud dari sebutan tersebut dapat kita tangkap pada tulisan Martin Van Bruinessen (1994) tentang tarekat Naqsabandiyah di pulau Lombok, John R. Bertholemew (2001), dan Erni Budiwanti (2000) tentang proses beragama di Gumi Sasak.
Secara jelas dari masing-masing karya tersebut memberikan maksud yang tak jauh berbeda bahwa Tuan Guru merupakan predikat yang diberikan bagi orang yang memiliki ilmu agama (dan pernah menunaikan ibadah haji) dengan dukungan kharisma2 yang tinggi, dan menempati kelas sosial teratas, dan dihormati sebagai pewaris Nabi.
Masyarakat Sasak yang memandang penting penge-tahuan agama, memandang Tuan Guru sebagai sumber pengetahuan yang akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial yang terkait dengan seluruh aktifitas kehidupan yang akan membawa mereka kepada cita-cita ideal, akibatnya tuan guru menjadi legitimator yang memberikan "pencerahan" terhadap berbagai persoalan yang mereka hadapi.
Peranan penting Tuan Guru juga terkait dengan kedudukan mereka sebagai elit terdidik yang mentransfer pengetahuan agama ke tengah masyarakat. Mereka akan memberikan penjelasan dan mengklarifikasi berbagai permasalahan yang ada di tengah masyarakat, karena umumnya masyarakat Sasak menyadari keterbatasan pengetahuan mereka dalam mengakses doktrin agama secara luas.
Posisi ini memperkuat nilai tawar Tuan Guru terhadap masyarakatnya sehingga segala bentuk pendapatnya menjadi pegangan masyarakat dalam memahami perubahan, terutama perubahan dalam cara "memperlakukan" doktrin agama secara literal (rigid) maupun liberal.
Sebagai contoh, ajaran wahabi3 yang dikenal sebagai—meminjam istilah Rahmat (2006)—suatu ajaran yang berkarakter khusus4, yakni ajaran yang menggeneralisasi bid’ah pada setiap doktrin agama yang tidak dijalankan sesuai dengan maksud teks Al-Qur’an dan hadits secara harfiah, bagi kebanyakan tuan guru dipandang dapat memunculkan embrio individualisme di tengah masya-rakat. Dengan kata lain penetrasi wahabisme di tengah masyarakat Sasak dapat mengancam harmoni sosial dalam masyarakat yang sebelumnya terpelihara dengan, serakalan, tahlilan, maulidan (mulud) dan berbagai aturan adat yang telah mengadaptasi.
Pun dalam konteks "memperlakukan" doktrin agama secara liberal seperti yang diimajisasi oleh Ulil Abshar Abdalla dengan Jaringan Islam Liberalnya (JIL), yang dalam pandangan tuan guru mereka "didaulat" sebagai penyusup yang berusaha meruntuhkan pilar-pilar agama secara internal.
Pandangan-pandangan tuan guru tersebut oleh masya-rakat Sasak dimaknai sebagai—meminjam istilah Budiwanti (2000)—atmosfir yang mengancam jati diri mereka sebagai muslim yang taat, sekaligus menerbitkan rasa tidak aman dalam menjalankan agama.
Walau tidak tertutup kemungkinan adanya beberapa kelompok kecil di tengah masyarakat Sasak yang mampu mengakses informasi yang lebih luas dan mampu memper-timbangkan perlakuan keliteralan maupun keliberalan sebuah doktrin dengan bijaksana, namun karena mayo-ritas masyarakat Sasak cenderung memandang dan mengagungkan ketokohan, maka setiap dari mereka dapat diidentifikasi mengikuti setiap pilihan dan langkah yang diambil oleh Tuan Guru,5 karena walau bagaimanapun legitimasinya adalah lokomotif dari gerak mereka.
Untuk itu, buku ini akan berusaha menelaah pemikiran Tuan Guru terhadap kelompok wahabi dalam pergumulan identitas sosial dilihat dari berbagai kategori pemikiran yang berkembang, dan dasar-dasar pemikiran tersebut dapat diterima oleh masyarakat Sasak.

1 Secara umum perbedaan cara perolehan status antara Kyai di Jawa dan Tuan Guru di Lombok melalui alur yang berbeda. Di Jawa perolehan status Kyai dapat melalui tiga cara yakni pertama melalui ascribed status, dimana seseorang memperoleh status dari keturunannya, kedua melalui achieved status yakni status diperoleh melalui usaha yang disengaja, dan yang ketiga adalah campuran dari kedua tersebut, yakni seseorang memperoleh status kyai selain karena faktor keturunan juga disebabkan oleh faktor kemmapuannya. Adapun status Tuan Guru di Lombok hanya dapat diperoleh melalui achieved status.
2 Kharisma sangatlah determinatif dalam membuat predikat tersebut. Orang yang memiliki pengetahuan agama yang tinggi, bila tidak didukung oleh kharisma yang kua t maka tidak akan disebut sebagai Tuan Guru, ia hanya berhak disebut guru atau ustad. Demikian sebaliknya orang yang hanya memiliki kharisma namun tidak memiliki pengetahuan agama akan disebut tuan, datu, ataupun raden. Dalam perjalanannya predikat sosial keagamaan tersebut telah mengalami pergeseran sensibilitas karena pengaruh perkembangan sosial. Kharisma sangat ditentukan oleh kemampuan membangun pengaruh dan mobilitas sosial. Kharisma inilah yang telah menyedot pengaruh yang demikian kuat sehingga relasi kuasa yang terbangun antara Tuan Guru dan masyarakat berada pada bingkai yang meta rasional. Masyarakat dengan sukarela akan membela dan mengikuti setiap pilihan dan langkah yang diambil oleh Tuan Guru. Lihat Badrun AM. Membongkar Misteri Politik NTB. (Yogyakarta: Genta Press, 2006), cet ke-1 h. 97
3 Hampir oleh kebanyakan masyarakat Lombok istilah wahabi tidak dikenal, mereka menyebut kelompok ini dengan salafi, namun untuk lebih memudahkan penyebutan dalam buku ini akan menggunakan istilah wahabi. Paham wahabi diperkirakan masuk ke Lombok seiring kepulangan jamaah haji dari Mekah, namun (sejauh penelusuran penulis) tidak diketahi secara persis kapan paham ini muncul. Dan yang hanya bisa dilacak adalah paham ini pernah dilekatkan kepada Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid ketika ia mengganti sistem pengajaran dari sistem sorogan menjadi sistem klasikal di Pondok Pesantren Al-Mujahidin yang ia pimpin, dan di tahun 1980-an hal serupa juga menimpa Tuan Guru Musthafa Umar Abdul ‘Aziz. Namun yang akan dicermati dalam penelitian ini adalah kemajuan penetrasi paham ini setelah tahun 1993.
4 Karakter ajaran yang khusus tersebut antara lain; pertama memerangi segala bentuk syirik, khurafat dan bid’ah. Kedua menerapkan literalisme yang ketat dan menjadikan teks sebagai satu-satunya sumber otoritas yang sah. Ketiga menampilkan permusuhan yang ekstrem terhadap intelektualisme, mistisisme, dan semua perbedaan sekte dalam Islam. Lihat M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2005), cet ke-1, h. 66
5 Setiap pilihan dan langkah yang diambil Tuan Guru umumnya diikuti tanpa reserve oleh masyarakat Sasak, apalagi mempertimbangkan lebih jauh dimensi di luar keyakinan dan ketaatan mereka. Hal ini kemungkinan beranjak dari hadis populer “ulama sebagai pewaris Nabi” yang melahirkan keyakinan bahwa sifat-sifat Nabi melekat dalam diri Tuan Guru. Namun tidak menutup kemungkinan juga bagi sebagian masyarakat yang lain dimensi ketaatan ini lahir dari pemahaman lingkungan sosialnya.
read more "Tuan Guru versus Wahabi"

About Me

Foto Saya
Beryn Bimtihan
Guru madrasah yang baru melek teknologi, ngetik masih pake 11 jari dan seringkali mematikan komputer dengan menekan power langsung he he he, padahal saya lahir di suatu tempat yang namanya sudah tertera di "google earth", dan di tempat kelahiran saya ini ada 5 pesantren (mungkin dalam waktu dekat akan nambah menjadi 6), tuan guru, ustaz, ustazah yang saban hari setiap selesai salat 5 waktu selalu ada pengajian kitab kuning, tapi ironisnya perilaku masyarakatnya (terutama pemuda) bertolak belakang dengan "kenyataan" sebagai ikon kota santri... Di tempat kelahiranku ini, rentenir bergentayangan, pemuda putus sekolah tak terhingga, kebersihannya tak terurus, orang miskin menjadi pemandangan yang biasa, padahal para pejabat, dosen, peneliti dan para pengambil kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah banyak yang berasal dari tempat kelahiran saya ini, namun yang paling ironis adalah para Tuan gurunya sering saling menjegal, dan pada akhirnya masyarakat umumlah yang selalu menjadi korban. Namun dalam pandangan objektifitasku, hal yang saya banggakan di tempat kelahiranku ini, yakni dinamisasi dan progresifitas masyarakat pada umumnya...bravo kota santri
Lihat profil lengkapku