Followers

My Blog

Anda pengunjung ke

Vocation

Vocation
Kota tua Ampenan [bukan sisa perang]
Diberdayakan oleh Blogger.

Vocation

Vocation
Sisi lain kota tua Ampenan
Sabtu, 14 Mei 2011

Pluralisme “?” Masih Pentingkah Kita Berbeda?

Di tengah kisruh serta pengalaman konflik identitas agama dan golongan di Indonesia, film “?” hadir. Jalinan pita garapan Hanung Bramantyo ini menyadarkan bahwa kemajemukan Indonesia berdimensi gelap-terang.

Mega berbeda adalah kaya sekaligus bahaya. Berbhineka harus selalu dijaga bagi masyarakat yang terus mencitakan “Ika”. Ini film penting di kala kemajemukan semakin genting.“?” menceritakan pluralitas masyarakat Semarang. Islam, Kristen, Kong Hu Cu, Jawa dan Tionghoa, semuanya bersatu, berdinamika dalam perbedaan.

Ada Rika (diperankan oleh Endhita), perempuan yang memutuskan bercerai, menjadi single parent. Rika harus melawan stigma masyarakat yang menilainya sebagai pengkhianat kesucian pernikahan dan Tuhan. Keyakinan jujur dari hati memberanikannya berpisah dari suami yang berpoligami. Perceraian bukan hal yang dibenci Tuhan saat keegoisan suami telah hadirkan siksa batin dan merusak prinsip kemitraan setara dalam rumah tangga. Lalu, pengembaraan iman Rika memantapkannya untuk tinggalkan Islam, memilih Katolik. Hebatnya, ia tak memaksa pendidikan agama anaknya yang tetap beragama Islam.

Melalui tokoh Surya (Agus Kuncoro), kelenjar air mata penonton dibuat bekerja saat mengikuti suka-duka pergulatan tauhidnya. Sebagai aktor figuran tak sukses, Surya terpaksa mencari uang dengan memerankan Yesus dan Santa Claus di setiap ritus keagamaan Katolik. Pragmatisme Surya malah semakin menguatkan keimanannya sebagai muslim. Pilihan perannya justru menjadi perlambang sosial hubungan antar umat beragama yang intim. Kita akan tertawa geli saat melihat Surya memakai ruang masjid untuk berlatih seni peran sebagai Yesus. Kita pun tak tahan mencegah tangis, saat Abi, seorang bocah Katolik yang sakit keras, menginginkan kado natal pada Surya yang berkostum Santa Claus, agar Abi cepat dipanggil Tuhan, karena Abi tak mau menyusahkan ayah dan ibu.

Lalu ada Menuk (Revalina S. Temat), muslimah taat yang bekerja sebagai pelayan makanan di “Canton Chinese Food”. Tak lupa kewajiban sembahyang di sela waktu kerja, Menuk memberikan keramahan sungguh dan penjelasan utuh mengenai menu halal kepada pembeli.

Pemilik “Canton Chinese Food”, Tan Kut San (Hengky Solaiman), adalah seorang Tionghoa pemilik beragama Kong Hu Cu. Ia membedakan perabot masak dan pelayanan makanan dengan wawasan fiqh halal-haram. Pemahamannya pada Islam ia terapkan juga dengan memberikan waktu sembahyang bagi pegawainya yang muslim. Di bulan Ramadan, Tan menutup jendela restoran dengan tirai untuk menghormati yang berpuasa. Saat Idul Fitri Tan tidak membuka restoran sebagai pemenuhan hak berlebaran bagi pegawainya yang muslim.

Juga Soleh (Reza Rahadian) dan Ping Hen (Rio Dewanto) yang terjebak pada streotipe patriarki Islam dan Tionghoa, bahwa laki-laki adalah pemimpin dan harus kuat. Semuanya berinteraksi seiring pasang-surut toleransi kehidupan masyarakat berbhineka. Hingga akhirnya mereka belajar untuk terus tumbuh sebagai manusia yang bermanfaat pada sesama, apapun agamanya.

Melalui semua penokohan tersebut kita menemukan kuatnya kedewasaan iman. Sejatinya, iman yang dewasa tak menutup perbedaan. Ia meyakini, dari interaksi perbedaan, keimanan akan terus tumbuh menuju keutuhan. Kurang lebih, itulah makna pluralisme agama.

Secara umum, pluralisme merupakan hal yang banyak dari kita merasakan maknanya, tapi tak mengerti pemaknaannya. Padahal, bila kita bisa sadari, hidup di negara berbhineka seperti Indonesia, sangat mungkin kita dibesarkan oleh asuhan pluralisme.

“?” MUI
Sayangnya, sikap pluralisme yang digambarkan “?” tak direstui pihak yang juga menjadi bagian dari kebhinekaan Indonesia. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang budaya, Cholil Ridwan, mengatakan bahwa pluralisme merupakan paham yang telah difatwa haram MUI di tahun 2005. Bagi Cholil, sebagai film, otomatis “?” pun haram karena mengkampanyekan pluralisme.

Pluralisme dinilai haram oleh MUI karena paham tersebut mencampuradukan agama, sehingga membahayakan keyakinan umat beragama (Islam)—www.voa-islam.com (2010/01/18). Fatwa MUI No. 7/Munas VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekulerisme Agama menuliskan pada ketentuan hukum: Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk lain. Kemudian dalam ketentuan umum, MUI menjelaskan bahwa Islam hanya mengakui pluralitas, bukan pluralisme.

Fatwa MUI tersebut mendorong masyarakat yang mengamininya untuk bersikap pasif terhadap fakta kemajemukan. Pernyataan “Islam hanya mengakui pluralitas (tidak untuk pluralisme)” berarti hanya cukup puas terhadap perbedaan saja. Bagi pihak ini, perbedaan tak perlu disikapi secara interaktif, apalagi intim.

Pluralitas memang merupakan keniscayaan nyata. Namun dimensi gelap-terangnya akan muncul silih berganti, seiring pemahaman ragam pihak di dalamnya. Kita semua harus menyadari ini. Di samping kekayaan, pluralitas mengandung potensi bencana. Hal yang mudah dimengerti jika kita yang sama lebih mungkin didekatkan bersatu, dibanding kita yang berbeda. Sebaliknya, banyak perbedaan lebih mungkin menghadirkan konflik dibandingkan sama dan seragam.

Karena ambivalensi itu, pluralitas memerlukan pluralisme. Diperlukan sikap toleran, keterbukaan, dan kesetaraan antara kita semua yang menyertai perbedaan. Tak ada dari kita yang sempurna. Tak ada yang lebih tinggi. Isme-pluralis menempatkan diri dan kelompok sebagai entitas kurang yang membutuhkan diri dan kelompok lain. Ini merupakan dorongan yang sangat kuat dalam menciptakan kerukunan antar perbedaan di masyarakat.

Bila pluralitas masyarakat mengikuti pemahaman MUI, skenario “?” bisa kita rubah. Rika akan terus menderita dengan keyakinan Islam yang merestui suaminya berpoligami. Selamanya Surya menjadi aktor figuran melarat tak bermanfaat, karena agamanya melarang membantu pelaksanaan ibadah pemeluk agama lain. Menuk tak akan bekerja di “Canton Chinese Food”, sehingga tak ada dialog intim Islam-Kong Hu Cu di restoran itu. Tan Kut San tak akan memahami Islam, sehingga tak ada pelayanan makanan halal bagi muslim, dan penghormatan bulan Ramadan serta Idul Fitri. Selamanya Soleh dan Ping Hen terjebak pada streotipe patriarki Islam dan Tionghoa, bahwa laki-laki adalah pemimpin dan harus kuat, lalu menindas etnis dan pemeluk agama yang berbeda. Sungguh, paham MUI yang menginginkan hubungan pluralitas berkonflik itu menjadi “tanda tanya”, mengingat adanya kata “Indonesia” yang menyertai namanya.

Bisa dibayangkan. Bila kita semua menggunakan jalan pikir MUI tersebut, lambat laun keragaman Indonesia akan hilang satu persatu. Tirani identitas (yang mengatasnamakan) mayoritas akan mendominasi masyarakat, menetapkan standar iman sektarian sebagai aturan bersama. Saat berpijak pada pengharaman pluralisme, kita akan yakin menjawab pertanyaan tagline film “?” yang berbunyi, “masih pentingkah kita berbeda?”. Jawabannya: tidak! []

Oleh: Usep Hasan Sadikin (Penikmat filmdan Penggiat di Yayasan Jurnal Perempuan)
read more "Pluralisme “?” Masih Pentingkah Kita Berbeda?"
Senin, 09 Mei 2011

Inpassing Jabatan Fungsional Guru Non PNS (GBPNS) Tahun 2011

Pengertian dan Tujuan
1.     Inpassing GBPNS adalah proses penyetaraan jabatan dan kepangkatan GBPNS dengan jabatan dan kepangkatan Guru Pegawai Negeri Sipil.
2.     Inpassing (Penetapan jabatan fungsional GBPNS dan angka kreditnya) dibutuhkan untuk:
(a) menetapkan kesetaraan jabatan, pangkat/ golongan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (b) tertib administrasi GBPNS; (c) memberikan tunjangan profesi, tunjangan khusus dll. (kesejahteraan).

Persyaratan Inpassing
1.     Memiliki kualifikasi akademik minimal S-1 atau D-IV (syarat kualifikasi tdk berlaku bagi yang sudah lulus sertifikasi);
2.     Guru tetap pada satuan pendidikan formal;
3.     Masa kerja sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun secara terus menerus pada 1 (satu) satuan pendidikan pada tanggal 30 Desember 2007, dan masih aktif melaksanakan tugas sebagai guru sampai saat ini;
4.     Usia setinggi-tingginya 59 tahun pada saat diusulkan.
5.     Memiliki NUPTK yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional.
6.     Memiliki beban kerja minimal 24 jam tatap muka per minggu dengan ketentuan: minimal 6 jam tatap muka pada satminkal.
7.     Melampirkan syarat-syarat administratif

Dasar Penetapan dan Jenjang Jabatan Fungsional Hasil Inpassing
1.     Inpassing Jabatan Fungsional GBPNS dan Angka Kreditnya ditetapkan berdasarkan dua hal, yaitu:
a.     kualifikasi akademik; dan
b.     masa kerja.
2.     Jenjang jabatan fungsional hasil inpassing adalah:
a.     Guru Madya;
b.    Guru Madya Tk. I;
c.    Guru Dewasa;
d.    Guru Dewasa Tk. I
e.    Guru Pembina.

Teknik Penghitungan Angka Kredit Inpassing
1.     GBPNS yang sudah lulus sertifikasi pengajuan inpassing-nya WAJIB sesuai dengan sertifikat pendidikan yang dimiliki;
2.     Angka kredit hasil inpassing dikurangi 25 poin bila GBPNS mis match, yaitu ijazah yang dimiliki tdk sesuai dengan tugas mengajarnya;
3.     GBPNS yang berijazah SLTA, masa kerjanya dikurangi 5 tahun bila ybs memeproleh ijazah S-1 setelah mengajar selama 5 tahun atau lebih;
4.     GBPNS yang berijazah SLTA, masa kerjanya diperhitungkan sejak yang bersangkutan mendapatkan S-1, bila S-1nya diperoleh  kurang dari lima tahun dari TMT-nya;
5.     GBPNS yang berijazah D-III, masa kerjanya dikurangi 2 tahun bila ybs memperoleh ijazah S-1 setelah mengajar 2 tahun atau lebih.

Catatan
1.    Inpassing GBPNS tidak ada kaitannya dengan pengangkatan PNS/CPNS dan tidak ada tunjangan Inpassing;
2.    Inpassing GBPNS dilaksanakan dan diselesaikan di tahun 2011;
3.    Guru RA/Madrasah yang sudah mendapatkan SK Penetapan Inpassing dari Kementerian Pendidikan Nasional, SK Penetapannya berlaku dan tidak perlu mengajukan inpassing ulang;
4.    Sementara yang sudah pernah mengajukan, tetapi belum keluar SK Penetapannya, maka harus mengajukan kembali ke Kementerian Agama dengan syarat sebagaimana telah diatur.
5.    Para Kabid Agar melakukan tindakan seperlunya, termasuk mengalokasikan anggarannya;


JADWAL KEGIATAN INPASSING GBPNS

NO
Kegiatan
Waktu
Keterangan
1
Sosialisasi ke Kemenag kab/kota
1-30 April 2011

2
Sosialisasi ke Madrasah/Pengawas
1-15 mei 2011

3
Pembentukan Tim Pokja Kanwil
1-30 April 2011

4
Pembentukan Tim Pokja kab/Kota
1-15 Mei 2011

5
Penerimaan&Pemeriksaan Berkas di Kab/Kota
8 Juli 2011
Batas Ahir
Warna Map :
RA    = Merah
MI    = Kuning
MTs  = Hijau
MA   = Biru
6
Dokumentasi Data Base di Kab/Kota
15 Juli 2011
Batas Akhir
7
Penerimaan Dokumen /Berkas di Kanwil Kemenag Prov
16 – 22 Juli 2011

8
Pemeriksaan Dokumen di Kanwil Kemenag Prov
23 Juli – 2 Sep 2011

9
Pengiriman Dokumen dan Hasil Penilaian ke Direktorat Madrasah
3 – 16 Sept 2011

10
Verifikasi dan Penilaian di Direktorat Madrasah
17 Sept – 28 Okt 2011

11
Pengiriman Dokumen yg telah selesai dinilai ke Biro kepegawaian
20 Nov 2011

12
Verifikasi dan Validasi oleh Biro Kepegawaian
21 Nov – 16 Des 2011

13
Penerbitan SK inpassing oleh Biro Kepegawaian
17 – 24 Des 2011

14
Pengiriman SK ke Kanwil dan Kemenag Kab/Kota 26 – 31 Des 2011
26-31 Des 2011

read more "Inpassing Jabatan Fungsional Guru Non PNS (GBPNS) Tahun 2011"
Minggu, 08 Mei 2011

Jangan-Jangan Kitalah yang "NII"

Hingar bingar kontroversi pembangunan gedung DPR seakan tertelan bulat-bulat dengan kemunculan bom bunuh diri dan merebaknya kasus orang hilang yang diduga kuat dilakukan oleh gerakan NII.
NII (Negara Islam Indonesia) yang dicetuskan Kartosuwiryo puluhan tahun silam sampai hari ini masih menyisakan tanda tanya besar, mengingat keterkaitan gerakan ini dengan tingkah polah "segelintir" orang yang sepertinya mengatasnamakan NII--terlepas dari mendiasporanya NII menjadi KW9 atau yang lainnya.
Munculnya NII atau gerakan-gerakan lain di bumi Indonesia ini mestinya tidak dilihat sebagai sesuatu yang "haram", melainkan diakomodir sebagai pemikiran yang hidup, dan diberikan ruang ekspresi dan dialog dengan gerakan atau pemikiran lain sehingga nanti dapat memunculkan pemikiran alternatif. Sebab sekeras atau selunak apapun suatu gerakan atau pemikiran, maka waktu jualah yang akan menentukan keeksisannya.
Sepak terjang NII--seperti yang terberitakan media--yang misiolinis dengan biasan merampok, mencuri, dan menghipnotis para "korbannya" setidaknya menjejakkan beberapa hal, pertama terjadi pembusukan terhadap gerakan-gerakan yang mengatasnamakan agama, dan dianggap akan merong-rong eksistensi NKRI. Kedua, sebagai salah satu desain dari skenario besar dalam rangka mempekatkan kabut asap agar masyarakat "merem" dari persoalan utama di negeri ini. Ketiga, hilangnya kesabaran "mantan" anggota NII dalam mewujudkan cita-citanya sehingga menghalalkan segala cara demi mengumpulkan dana segar guna membiayai gerakan yang massif. Keempat, keserakahan dari orang-orang yang demikian hedonis dan menjadikan "NII" sebagai mesin pencari keuntungan.
Penjejakan "NII" ini menyiratkan satu hal bahwa, bayangan kelamnya sudah melekat erat dalam diri masing-masing kita. Ibarat tangan yang menunjuk, jika "NII" itu jari telunjuk maka jari tengah, jari manis, dan jari kelingking adalah kita sendiri. Atau gumaman lain, jangan-jangan kitalah "NII" yang sebenarnya. Diri kitalah yang tak sadar dan telah lama membusukkan orang lain. Kitalah yang sering tidak jujur dan menutup-nutupi segala sesuatu dengan kepura-puraan, seperti berpura-pura menyembah Tuhan tetapi jauh di dasar hati menginginkan surga-Nya.
Atau mungkin, kitalah yang tidak kuat menunggu datangnya kenikmatan, sehingga sesegera mungkin mereguk kenikmatan itu tanpa mengindahkan cara. Lantas membuat kita serakah dan menjadikan orang lain menjadi tidak layak...
Jangan-jangan kitalah yang "NII" itu yang membangun masjid, islamic center, mushalla, madrasah di atas kesusah-payahan orang lain, dengan dalih agama, dengan ayat-ayat hipnotis, dengan kharisma palsu, dengan sumbangan "wajib", atau dengan undang-undang sepihak.
Jangan-jangan kitalah yang "NII" sejati... yang memotong dan mengamputasi hak orang lain tanpa ampun...

Mataram | 01.40 dini hari
read more "Jangan-Jangan Kitalah yang "NII""
Sabtu, 26 September 2009

Daya Tarik Radikalisme Islam

Kita tidak pernah mendengar pengakuan jujur dari Washington bahwa fenomena radikalisme di mana pun, termasuk radikalisme Islam bersangkut-paut dengan kebijakan luar negeri Amerika yang imperialistik. Sampai detik ini yang kita dengar hanyalah teror di Indonesia dan di beberapa belahan dunia Islam lainnya selalu dikaitkan, dituduhkan, dan atau dilakukan oleh kelompok teroris bernama Alqaeda.
Bukankah kita tidak buta bahwa Alqaeda sesungguhnya adalah simpul dan jejaring yang berkaitan dengan kebijakan Amerika terhadap bahaya merah pada masa perang dingin yang silam? Alqaeda sengaja dibentuk oleh AS untuk menghancurkan Uni Sovyet di Afghanistan. Personelnya terdiri dari pemuda-pemuda Muslim yang berasal dari berbagai negara Islam, termasuk Indonesia.
Karena didasari atas solidaritas Islam atas Afghanistan, para pemuda dari berbagai belahan dunia masuk ke Afghanistan. Sebelum mereka diterjunkan ke medan perang, mereka dilatih terlebih dahulu oleh CIA.
Paska bubarnya Uni Sovyet petaka kemudian timbul, Alqaida tidak otomatis bubar. Jaringannya tetap aktif. Kita tidak tahu persis, apakah ada kesengajaan terhadap pembiaran Alqaeda, sambil terus memompanya melakukan aktivitas teror dan membuat ketakutan massal di seluruh dunia.
Kita juga tidak bodoh untuk mengetahui bahwa teror biasanya menjadi salah satu skenario untuk pra kondisi di dalam menata era baru yang diinginkan oleh negara imprialis. Kita pun pantas bertanya, siapakah sebenarnya yang mengambil keuntungan dari ketakutan massal yang diklaim dilakukan oleh organisasi misterius Alqaeda tersebut?
Jawabannya siapa lagi kalau bukan para penguasa yang bertahta di Washington sana. Yang paling menderita dari sandiwara yang kejam ini adalah umat Islam yang dijadikan sebagai korban. Umat Islam dipaksa terlibat memainkan lakon yang bukan miliknya oleh penulis skenario dan sutradara yang bengis. Dan mungkin Nurdin kebetulan diberi peran antagonis sebagai penghancur fasilitas AS di Indonesia.
Asumsi ini didasarkan pada keganjilan dari rekomandasi yang diturunkan oleh RAND (sebuah think thank berpengaruh di Amerika Serikat). Keganjilan rekomendasi itu menegasikan faktor kebijakan AS yang imperialistik. Bermula dari Angkatan Udara AS meminta RAND Project AIR FORCE (RAF) untuk mengkaji gejala-gejala yang berpotensi mempengaruhi kepentingan AS dan situasi keamanan di dunia Islam.
Para peneliti RAND mengembangkan kerangka analisis untuk mengidentifikasi orientasi ideologis utama di dunia Islam, melihat perpecahan di antara kelompok-kelompok Islam, dan melacak akar radikalisme Islam. Kerangka kebijakan ini akan membantu para pembuat kebijakan AS dalam merancang strategi politik dan militer yang diperlukan guna merespon perubahan kondisi di kawasan dunia Islam.
Hasilnya, terdapat 11 rekomendasi yang diberikan untuk mencegat laju daya tarik penyebaran radikalisme Islam. 1. Mempromosikan jaringan moderat untuk melawan gagasan-gagasan radikal; 2. Merusak jaringan Islam radikal; 3. Membantu reformasi pesantren dan mesjid; 4. Memperluas kesempatan ekonomi; 5. Mendukung Islam Madani (Civil Society); 6. Meniadakan sumberdaya kaum ekstremis; 7. Menyeimbangkan perang melawan terorisme dengan kebutuhan untuk mempromosikan stabilitas di negara-negara Muslim moderat; 8. Berupaya melibatkan umat islam dalam proses politik; 9. Kerjasama dengan komunitas Muslim; 10. Membangun kembali hubungan militer dengan negara-negara kunci; 11. Membangun kemampuan militer AS yang ampuh (lihat Al-Wa’ie, No.61 Tahun VI, 1-30 September 2005, h. 67).
Kesebelas rekomendasi tersebut, tidak ada satu pun rekomendasi kepada AS sendiri untuk mencoba mengevaluasi internalnya, yang bagi kalangan gerakan Islam menjadi pangkal musabab munculnya daya tarik radikalisme Islam itu sendiri. Padahal sepak terjang AS yang tidak adil kepada dunia Islam pantas untuk diakui sebagai faktor penting bagi berkembangnya radikalisme itu sendiri. Radikalisme hanyalah respon ideologis bagi kesewenang-wenangan AS terhadap dunia Islam. Aneh, mengapa hal ini tidak direkomendasikan?
Terlihat betapa AS tidak tulus keinginannya di dalam menyudahi konflik dengan dunia Islam. Jika 11 rekomendasi itu yang terus ditempuh AS di dalam menyudahi radikalisme, dipastikan radikalisme yang merebak di dunia Islam tidak akan pernah mati hingga ke akar-akarnya sebagaimana yang diinginkan AS. Selagi AS masih dengan performance koboy seperti sekarang ini, selama itu pula radikalisme tumbuh dan berkembang di mana-mana, dan pasti tidak hanya berlangsung di dunia Islam.
Nurdin telah tewas, dan mungkin tidak lama lagi akan muncul Nurdin-nurdin yang lain jika saja pihak AS tidak mau mencoba memahami secara lengkap faktor-faktor penyebab dan akar-akar radikalisme Islam. AS hanya ingin sampai kepada solusi pemecahan yang prematur dan memihak kepada kepentingan sempit AS. Wallahua’lam
*Alumni Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia.
read more "Daya Tarik Radikalisme Islam"
Kamis, 17 September 2009

Menafsir Fenomena Tewasnya Nurdin M. Top

Tiba-tiba saja masyarakat tersentak dengan aksi para teroris di Indonesia. Tidak ada masa sebelumnya di Indonesia di mana seorang rela bunuh diri dalam hal meraih ”popularitasnya”. Dan tidak ada aksi teror yang secara khusus dikomandoi oleh para pribumi Indonesia, biasanya kalau bukan WNA mereka adalah para keturunan WNA. Para pribumi Indonesia bukanlah orang yang tidak bisa memimpin atau seorang pengecut, melainkan mereka emoh terhadap kekerasan, dan mereka yang ”nekat” biasanya tidak mendapat simpati masyarakat. Jika pun ada pribumi Indonesia yang nekat mereka hanya ”berani” pada tempat-tempat terbatas seperti Afganistan. Kali ini, dari desa sampai kota, dari anak-anak kecil sampai orang-orang tua, dari preman sampai Kyai, dari kuli bangunan sampai politisi Senayan, gempar dengan terornya Nurdin M. Top. Di warung-warung kopi jalanan yang berdebu, kafe-kafe, halaqah-halaqahnya para Kyai, sampai istana, gosip Nurdin menjadi menu obrolan yang paling menarik. Orang pun serentak bertanya-tanya: fenomena apakah ini?
Jelas sekali bahwa hal ini merupakan fenomena biasa dari budaya pop (pop culture). Sebagaimana dalam budaya pop, sebuah peristiwa terjadi secara fenomenal dan menghipnotis banyak orang. Namun biasanya, durasi dari peristiwanya terjadi secara cepat dan tidak berlangsung lama. Apa yang kita saksikan dari fenomena Nurdin, tidak lebih dari pada fenomena biasa dari pop culture tersebut.
Untuk melihat secara jernih fenomena Nurdin ini, sebaiknya kita perlu mengurai unsur-unsur yang terlibat di dalam fenomena Nurdin tersebut. Dalam fenomena Nurdin ini, setidaknya ada empat unsur yang terkait: Nurdin sendiri sebagai icon dan sumber berita; media; masyarakat; dan komentar-komentar tokoh atau orang pilihan media sebagai penyedap cita rasa berita.
Pertama, Nurdin sebagai sumber berita, bintang dan icon. Secara intrinsik, Nurdin memang memenuhi syarat sebagai sumber berita yang dapat dijual untuk konsumsi publik. Setidaknya secara teoritis, tiga unsur yang laris dijual kepada publik, yakni daya tarik, rasa ingin tahu (kepenasaran), dan sensasi, ternyata ada pada Nurdin. Dengan potensi taqiyah [meminjam istilah syi’ah] yang ia miliki, terutama dalam hal kemisteriusannya membuat masyarakat tidak tahu mana kawan, mana lawan. Dia [Nurdin] sadar betul, bahwa titik kekuatannya terletak pada kelihaiannya mempermainkan logika masyarakat dan aparat.
Dalam hubungan produksi atau industrial, sebetulnya Nurdin merupakan bahan baku yang direproduksi oleh media (produsen) untuk kepentingan keuntungan material si pemodal media itu sendiri dengan cara menjual daya tarik Nurdin kepada konsumen. Media dengan cara yang halus setiap saat dapat mengeksploitasi Nurdin untuk diperdagangkan. Sementara Nurdin tidak bisa berbuat banyak, kecuali menuruti skenario media yang sering diatasnamakan sebagai kemauan konsumen. Yang sulit adalah apabila Nurdin sendiri sadar dan senang dengan skenario pihak media itu. Sebab bagaimanapun, antara Nurdin dengan media terjadi hubungan yang saling menguntungkan. Pihak media membutuhkan berita yang laris dijual, sedangkan Nurdin butuh media untuk mempublikasikan dirinya.
Kedua, unsur yang terlibat langsung dari proses pemunculan fenomena Nurdin adalah media. Di balik media, sudah barang tentu ada kepentingan pemodal. Pemodal hanya berkepentingan bagaimana melipatgandakan keuntungan dari bisnis media. Dengan munculnya fenomena Nurdin ini, tentu saja hal itu merupakan makanan yang empuk bagi media untuk meningkatkan jumlah konsumennya (pembaca, pendengar maupun pemirsa). Karena itu, semakin kontroversial sebuah peristiwa, semakin bagus kesempatan bagi media untuk meningkatkan rating popularitasnya.
Adalah merupakan berkah bagi media, jika sebuah peristiwa bersifat kontoversial, apalagi jika kontroversi itu berlangsung lama, media akan mendapatkan kesempatan untuk mengkonsolidasikan konsumennya sekaligus untuk membentuknya. Tidak ada bedanya antara media yang berada di barisan yang pro maupun yang berada di barisan yang kontra, semuanya mendapat keuntungan dari sebuah berita yang kontroversial. Begitulah yang kita saksikan hari ini atas teror Nurdin M. Top.
Ketiga, konsumen atau masyarakat penikmat berita. Di samping sumber berita, konsumen merupakan pihak yang lemah di hadapan media. Dia tidak punya kekuasaan di hadapan media kecuali untuk memilih dua kemungkinan: mengkonsumsi atau tidak. Dia tidak mempunyai kekuasaan untuk menentukan berita. Sering sekali terjadi bahwa media dengan cerdik mengeksploitasi kebingungan dan kepenasaran masyarakat (publik) untuk suatu target keuntungan berupa peningkatan jumlah pembaca (media cetak) ataupun pemirsa (media televisi).
Keempat, komentar-komentar para tokoh masyarakat atau orang pilihan media. Biasanya tokoh-tokoh yang diminta komentarnya oleh media adalah mereka yang memang populer, otoritatif, dan terutama menguntungkan bagi media yang bersangkutan. Itulah mengapa komentar-komentar para tokoh atau orang biasa pilihan media tidak lebih merupakan bumbu penyedap rasa saja dari sebuah berita.
Fenomena Nurdin Sarat Makna Simbolik
Sekarang Nurdin telah tewas, dan [mudah-mudahan tidak terjadi lagi] mungkin tidak lama lagi akan muncul Nurdin-nurdin yang lain [atau dalam bentuknya yang lain], jika saja pemerintah, para elit, dan penegak hukum negeri ini tidak waspada terutama terhadap pemantik [akar utama] terjadinya terorisme di negeri ini, seperti ketidak adilan, korupsi, atau bertekuk lututnya negara ini di bawah pengaruh [baca: politik imprialis] Amerika, dan sebagainya. Suatu saat mungkin saja Nurdin dan para pengantinnya menjadi legenda jika saja agenda keadilan, pemberantasan korupsi di negeri tak kunjung terjadi, atau penghambaan terhadap AS tak jua dihentikan. Nurdin dapat dipastikan menjadi sosok yang mendapatkan tempat istimewa di mata masyarakat. Nurdin yang semula dipersepsikan sebagai biang keladi teror, kini setelah melihat kinerja pemerintah, para elit, dan penegak hukum di negeri ini lamban, maka bisa saja Nurdin dan para pengantinnya bergeser ke posisi yang terhormat SEBAGAI PAHLAWAN.
read more "Menafsir Fenomena Tewasnya Nurdin M. Top"

KPK Versus Kepolisian, Lalu Apa Setelah Ramadhan?


Sejatinya berpuasa selama sebulan penuh di bulan Ramadan akan memberikan dampak takwa dengan perubahan pada sikap dan perilaku individu maupun masyarakat. Tetapi seperti yang sering kita saksikan pada bulan-bulan Ramadan sebelumnya, Ramadan hanyalah sebatas bulan pengekangan kebebasan mengekspresikan hawa nafsu lapar, haus, dan ”dahaga”. Tersebab banyak di antara mereka merasakan seolah-olah telah lepas dari kekangan Ramadan, sehingga tidak mengherankan jika bulan Syawal diekspresikan bagai bulan pesta pora dan hura-hura, merayakan kebebasan dari kekangan psikologis dan sosiologis dengan beramai-ramai ”kembali” menjegal KPK. Padahal ketika Ramadan mereka tampak demikian relijius.
Gejala sosial keagamaan yang unik ini sebetulnya merupakan sinyal bahwa kehebohan berpuasa Ramadan tidak banyak memberikan pengaruh yang berarti bagi perubahan sikap dan perilaku yang sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi. Jika ingin mencari contoh terbaik dari fenomena ini, perhatikan perilaku para elit politik dan para penegak hukum di negeri ini yang notabenenya adalah Muslim. Gejala seperti ini tidak hanya terjadi pada figur-figur publik, tetapi juga menular dan berkembang di tingkat masyarakat umum. Fenomena ini menjadi dasar yang mencerminkan bahwa paham keagamaan masyarakat Islam Indonesia begitu artifisial atau lipstik semata.
Fenomena keberagamaan yang artifisial ini merupakan cermin dari cara keberagamaan yang sekuler, dimana antara waktu beribadah dipisahkan sedemikian rupa dengan waktu di luar ibadah. Dengan kata lain ketika waktunya beribadah, maka beribadahlah dengan benar. Jika waktunya ”menjegal” mereka yang memerkan kebusukan, maka lakukanlah. Paham sekuler seperti ini menyebabkan ibadah tidak memberikan dampak takwa berupa perubahan sikap dan perilaku termasuk kesungguhan segenap bangsa ini dalam memberantas korupsi.
Keberagamaan yang artifisial atau lipstik ditunjukkan dengan sikap dan perilaku yang tidak konsisten. Sikap inilah yang ditunjukkan oleh kebanyakan masyarakat muslim negeri ini sehingga ketika Ramadan tiba mereka berpuasa dan mengisi hari-harinya dengan ibadah, tetapi begitu Ramadan usai mereka kembali seperti sediakala, berbuat maksiat dan korup. Pada kasus lain, seorang elit politik yang tak terhitung kalinya menunaikan umrah dan haji, tetapi ibadanya itu sama sekali tidak dapat menggetarkan hatinya untuk tidak memakan uang rakyat dengan menghentikan perbuatan korupsinya. Bahkan mereka menggunakan harta rakyat sebagai ongkos haji, atau kepergiannya ke tanah suci dijadikan sebagai tameng agar bebas dari tekanan sosiologis sebagi koruptor.
Keberagamaan yang sekuler seperti ini seyogyanya menjadi keprihatinan bersama. Di sinilah seharusnya peran ulama seperti mereka yang tergabung dalam MUI untuk konsisten dan terus menerus menyuarakan fatwa dan menumbuhkan-kembangkan gerakan anti korupsi, dan tidak berhenti sebatas fatwa belaka atau pemberian label halal. Gerakan pertama yang mungkin bisa dilakukan MUI adalah meluruskan paham keberagamaan para elit dan penegak hukum yang mencoba memandulkan peran KPK, tersebab mereka keliru dalam menafsirkan ibadah yang [seharusnya] tidak berdasarkan atas kebutuhan lembaga maupun mood politik.
Setiap Ramadan gegap gempita dengan tarawih dan tadarus di masjid-masjid serta kegiatan-kegiatan religius lainnya, kerap dilakukan di negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia ini. Acara televisi penuh dengan ceramah-ceramah keagamaan. Pesantren kilat di mana-mana. Tetapi Indonesia masih tetap negara terkorup kelima di dunia. Dan mungkin tingkat kriminalnya juga tertinggi di seluruh negara Islam. Benar-benar paradoks.
Beberapa hari lagi bulan Ramadan akan berlalu, rasanya sebelum itu diperlukan refleksi sejauh mana kira-kira Ramadan memberikan pengaruh kepada perubahan sikap dan perilaku masyarakat dan para elit kita dalam memberantas korupsi. Apakah tuntutan puasa Ramadan yang hendak membentuk orang yang berpuasa menjadi insan yang bertakwa menjadi terbukti setelah melewati bulan yang istimewa ini? Mungkinkah terjadi perubahan sikap dan perilaku yang lebih takwa di tengah para elit kita?
Jika pertanyaan tersebut menunjukkan jawaban yang sama dengan ramadan-ramadan sebelumnya, berarti benarlah apa yang disinyalir oleh Rasulullah dalam sebuah pernyataannya yang berulangkali disitir dalam kultum, ceramah, dan khutbah Jumat di bulan ini, “Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa pun dari kegiatan puasanya selain lapar dan dahaga saja.” Wallahu a’lam
read more "KPK Versus Kepolisian, Lalu Apa Setelah Ramadhan?"
Rabu, 09 September 2009

Selayang Pandang Etnografi Lombok


Etnik Sasak merupakan penduduk asli dan kelompok etnik mayoritas, mereka meliputi lebih dari 92% dari keseluruhan penduduk Pulau Lombok. Kelompok-kelompok etnik seperti Bali, Samawa, Arab, Cina, Timor dan lain-lain adalah pendatang, dan di antara mereka orang-orang Bali merupakan kelompok etnik terbesar, meliputi sekitar 3% dari keseluruhan penduduk Pulau Lombok. Jumlah kedua terbesar dari kelompok pendatang itu adalah orang-orang dari etnik Samawa dari pulau Sumbawa bagian barat.
Sebagian besar orang Bali terutama bermukim di Lombok Barat dan Kota Mataram, dan ada juga sedikit bertempat tinggal di Lombok Tengah. Etnik Bali yang tinggal di Lombok adalah keturunan dari para penakluk yang datang dari Karangasem pada abad ke-17 lalu. Jumlah orang-orang Bali di Pulau Lombok tidak lebih dari 70.000 jiwa, sekitar 53.842 orang tinggal di Kota Mataram. Orang-orang Samawa bermukim di Lombok Timur. Orang-orang Arab hampir terkonsentrasi tinggal di Ampenan di wilayah permukiman khusus yang disebut Kampung Arab, sedangkan orang Tionghoa atau Cina yang mayoritas pedagang tinggal di pusat-pusat perdagangan dan pasar, seperti di Cakranegara, Ampenan dan Praya.
Orang-orang Bugis yang jumlahnya cukup banyak dan merupakan migran yang cukup lama tinggal di Lombok, umumnya mereka hidup sebagai nelayan dan tinggal di hampir sepanjang pesisir pantai Pulau Lombok, mulai dari pantai Sekotong, Gili Gede, Kampung Bugis, dan Pondokperasi, Ampenan, sepanjang pantai Pemenang, Tanjung, hingga Labuhan Carik (Kabupaten Lombok Barat), Tanjung Luar, Labuhan Lombok, Labuhan Haji (Kabupaten Lombok Timur). Selain itu mereka juga banyak mendiami pulau-pulau kecil di sekitar pulau Lombok seperti Gili Terawangan, Gili Meno, dan Gili Air.
Sedangkan komunitas Jawa sejak zaman Belanda dan pasca kemerdekaan menempati permukiman khusus Kampung Jawa yang terdapat di Mataram, Cakranegara, dan Praya serta Selong. Ampenan, selain permukiman khusus orang Arab, terdapat pula Kampung Banjar, Kampung Melayu, Kampung Bugis. Selain itu pemukiman pemeluk Nasrani umumnya berasal dari keturunan Timor, disebut Kampung Kapitan. Masing-masing komunitas dengan kampung khusus itu dikepalai oleh tetua masyarakatnya yang disebut Kapitan.
Mengenai sejarah atau asal-usul etnik Sasak, masih menjadi perbincangan di antara para ahli sejarah, sebab sampai saat ini belum ada yang melakukan penelitian yang seksama mengenai hal tersebut. Namun berangkat dari bukti-bukti etnografis yang sederhana dapat dikatakan bahwa, etnik Sasak adalah bagian dari keturunan Etnik Jawa yang menyeberang ke Pulau Bali kemudian ke Pulau Lombok, dan diperkirakan mulai sejak zaman Kerajaan Daha, Keling (Kalingga), Singosari sampai pada zaman Kerajaan Mataram Hindu pada abad ke 5-6 Masehi. Lebih-lebih setelah hampir runtuhnya Kerajaan Majapahit di penghujung abad ke-15 atau tepatnya sekitar tahun 1518–1521 di saat memasuki era Islamisasi, penyeberangan migran Jawa ke Lombok semakin meningkat.
Duplikasi nama-nama tempat maupun nama-nama orang antara Jawa dan Lombok dapat menjadi bukti akan hal ini, seperti Kediri, Kuripan, Keling, Jenggala, Pajang Mataram, Gresik, Surabaya, Medang, Menggala, Wanasaba, Suralaga, Pringgabaya, Kutaraja, Suranadi, Sukaraja, Kutara, Peneraga, dan lain-lain. Juga, dalam hal penamaan orang terlihat dengan jelas pengaruh dari nama-nama Jawa, seperti Raden Wiracempaka, Mamiq Diguna, Loq Swarna, Baiq Diah Purwanti, La Sumirah, Setiawati, dan lain-lain.
Hal itu juga terlihat pada hal-hal yang berkaitan dengan bahasa, kesenian rakyat, tata nilai, adat istiadat, yang relatif memiliki kesamaan, dan dipengaruhi oleh budaya Jawa. Duplikasi tulisan huruf Jawa yang kemudian popular disebut Jejawen/Jejawan dalam huruf Sasaka dengan bahasa Kawi menjadi tulisan yang digunakan dalam kitab-kitab lontar Sasak yang disebut takepan.
Adapun bukti tertulis yang menandai bahwa Etnik Sasak mempunyai hubungan dengan Etnik Bali adalah penemuan nekara perunggu yang bertuliskan “Sasak dana prihan srih Jawa nira” (benda ini pemberian orang-orang Sasak). Kerangka perunggu itu berangka tahun 1077 Masehi, bertuliskan huruf kuadrat. Nekara itu ditemukan di Desa Pujungan Tabanan Bali. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian arkeologi atau hasil ekskavasi di Gunung Piring, Desa Teruwai, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah bagian selatan pada tahun 1976, menunjukkan sekitar 1600-1800 tahun yang lalu, Pulau Lombok telah dihuni orang. Penduduk di kala itu mempunyai kebudayaan yang sama dengan penduduk yang mendiami Gilimanuk Bali dan Pulau Pallawan di Piliphina.
Pada abad ke 5-6 M, migran-migran Jawa yang berasal dari kerajaan Kalingga, Daha, Singosari, berdatangan ke Lombok dengan membawa paham agama Shiwa-Budha. Menyusul setelah itu, kerajaan Hindu Majapahit, Hindu dari Jawa Timur masuk ke Lombok pada abad ke-7 dan memperkenalkan agama Hindu-Budha di kalangan orang Sasak. Pengaruh migran yang membawa agama Shiwa-Budha maupun Hindu-Budha tidaklah signifikan karena setelah dinasti Majapahit jatuh pada abad ke-13 raja Jawa muslim, untuk pertama kalinya membawa agama Islam masuk melalui Gowa Sulawesi dan tiba di Lombok dari arah timur laut. Disusul kemudian oleh orang-orang Makasar (Bugis) dari kerajaan Gowa tiba di Lombok Timur pada abad ke-16 dan berhasil menguasai kerajaan asli Etnik Sasak yakni Selaparang. Pada saat yang bersamaan Kerajaan Gelgel dari Bali berusaha melakukan infiltrasi ke Lombok Barat untuk menguasai Lombok atau kerajaan Selaparang, sekaligus membendung gerak maju kekuasaan dari raja Gowa yang membawa misi Islam Sunni.
Selain konversi orang Sasak Boda ke dalam Islam, secara khusus dapat dilihat bahwa dua kerajaan terakhir inilah yang memengaruhi secara dominan sosial budaya masyarakat Sasak hingga saat ini. Namun secara umum sosial budaya masyarakat Sasak dipengaruhi oleh semua kebudayaan migran yang datang ke Lombok, atau dengan kata lain, kekuatan asing yang menaklukkan Lombok selama berabad-abad sangat menentukan cara orang Sasak menyerap pengaruh-pengaruh luar. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa sosial budaya masyarakat Sasak berkaitan dengan sistem budaya yang kompleks, yang termanifestasi ke dalam bahasa, adat istiadat, tata nilai, busana, sistem kepercayaan, beberapa tradisi dan kebiasaan, nama-nama orang dan tempat, tradisi kesenian, dan permainan rakyat.
read more "Selayang Pandang Etnografi Lombok"

About Me

Foto Saya
Beryn Bimtihan
Guru madrasah yang baru melek teknologi, ngetik masih pake 11 jari dan seringkali mematikan komputer dengan menekan power langsung he he he, padahal saya lahir di suatu tempat yang namanya sudah tertera di "google earth", dan di tempat kelahiran saya ini ada 5 pesantren (mungkin dalam waktu dekat akan nambah menjadi 6), tuan guru, ustaz, ustazah yang saban hari setiap selesai salat 5 waktu selalu ada pengajian kitab kuning, tapi ironisnya perilaku masyarakatnya (terutama pemuda) bertolak belakang dengan "kenyataan" sebagai ikon kota santri... Di tempat kelahiranku ini, rentenir bergentayangan, pemuda putus sekolah tak terhingga, kebersihannya tak terurus, orang miskin menjadi pemandangan yang biasa, padahal para pejabat, dosen, peneliti dan para pengambil kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah banyak yang berasal dari tempat kelahiran saya ini, namun yang paling ironis adalah para Tuan gurunya sering saling menjegal, dan pada akhirnya masyarakat umumlah yang selalu menjadi korban. Namun dalam pandangan objektifitasku, hal yang saya banggakan di tempat kelahiranku ini, yakni dinamisasi dan progresifitas masyarakat pada umumnya...bravo kota santri
Lihat profil lengkapku