Followers

My Blog

Anda pengunjung ke

Vocation

Vocation
Kota tua Ampenan [bukan sisa perang]
Diberdayakan oleh Blogger.

Vocation

Vocation
Sisi lain kota tua Ampenan
Kamis, 17 September 2009

Menafsir Fenomena Tewasnya Nurdin M. Top

Tiba-tiba saja masyarakat tersentak dengan aksi para teroris di Indonesia. Tidak ada masa sebelumnya di Indonesia di mana seorang rela bunuh diri dalam hal meraih ”popularitasnya”. Dan tidak ada aksi teror yang secara khusus dikomandoi oleh para pribumi Indonesia, biasanya kalau bukan WNA mereka adalah para keturunan WNA. Para pribumi Indonesia bukanlah orang yang tidak bisa memimpin atau seorang pengecut, melainkan mereka emoh terhadap kekerasan, dan mereka yang ”nekat” biasanya tidak mendapat simpati masyarakat. Jika pun ada pribumi Indonesia yang nekat mereka hanya ”berani” pada tempat-tempat terbatas seperti Afganistan. Kali ini, dari desa sampai kota, dari anak-anak kecil sampai orang-orang tua, dari preman sampai Kyai, dari kuli bangunan sampai politisi Senayan, gempar dengan terornya Nurdin M. Top. Di warung-warung kopi jalanan yang berdebu, kafe-kafe, halaqah-halaqahnya para Kyai, sampai istana, gosip Nurdin menjadi menu obrolan yang paling menarik. Orang pun serentak bertanya-tanya: fenomena apakah ini?
Jelas sekali bahwa hal ini merupakan fenomena biasa dari budaya pop (pop culture). Sebagaimana dalam budaya pop, sebuah peristiwa terjadi secara fenomenal dan menghipnotis banyak orang. Namun biasanya, durasi dari peristiwanya terjadi secara cepat dan tidak berlangsung lama. Apa yang kita saksikan dari fenomena Nurdin, tidak lebih dari pada fenomena biasa dari pop culture tersebut.
Untuk melihat secara jernih fenomena Nurdin ini, sebaiknya kita perlu mengurai unsur-unsur yang terlibat di dalam fenomena Nurdin tersebut. Dalam fenomena Nurdin ini, setidaknya ada empat unsur yang terkait: Nurdin sendiri sebagai icon dan sumber berita; media; masyarakat; dan komentar-komentar tokoh atau orang pilihan media sebagai penyedap cita rasa berita.
Pertama, Nurdin sebagai sumber berita, bintang dan icon. Secara intrinsik, Nurdin memang memenuhi syarat sebagai sumber berita yang dapat dijual untuk konsumsi publik. Setidaknya secara teoritis, tiga unsur yang laris dijual kepada publik, yakni daya tarik, rasa ingin tahu (kepenasaran), dan sensasi, ternyata ada pada Nurdin. Dengan potensi taqiyah [meminjam istilah syi’ah] yang ia miliki, terutama dalam hal kemisteriusannya membuat masyarakat tidak tahu mana kawan, mana lawan. Dia [Nurdin] sadar betul, bahwa titik kekuatannya terletak pada kelihaiannya mempermainkan logika masyarakat dan aparat.
Dalam hubungan produksi atau industrial, sebetulnya Nurdin merupakan bahan baku yang direproduksi oleh media (produsen) untuk kepentingan keuntungan material si pemodal media itu sendiri dengan cara menjual daya tarik Nurdin kepada konsumen. Media dengan cara yang halus setiap saat dapat mengeksploitasi Nurdin untuk diperdagangkan. Sementara Nurdin tidak bisa berbuat banyak, kecuali menuruti skenario media yang sering diatasnamakan sebagai kemauan konsumen. Yang sulit adalah apabila Nurdin sendiri sadar dan senang dengan skenario pihak media itu. Sebab bagaimanapun, antara Nurdin dengan media terjadi hubungan yang saling menguntungkan. Pihak media membutuhkan berita yang laris dijual, sedangkan Nurdin butuh media untuk mempublikasikan dirinya.
Kedua, unsur yang terlibat langsung dari proses pemunculan fenomena Nurdin adalah media. Di balik media, sudah barang tentu ada kepentingan pemodal. Pemodal hanya berkepentingan bagaimana melipatgandakan keuntungan dari bisnis media. Dengan munculnya fenomena Nurdin ini, tentu saja hal itu merupakan makanan yang empuk bagi media untuk meningkatkan jumlah konsumennya (pembaca, pendengar maupun pemirsa). Karena itu, semakin kontroversial sebuah peristiwa, semakin bagus kesempatan bagi media untuk meningkatkan rating popularitasnya.
Adalah merupakan berkah bagi media, jika sebuah peristiwa bersifat kontoversial, apalagi jika kontroversi itu berlangsung lama, media akan mendapatkan kesempatan untuk mengkonsolidasikan konsumennya sekaligus untuk membentuknya. Tidak ada bedanya antara media yang berada di barisan yang pro maupun yang berada di barisan yang kontra, semuanya mendapat keuntungan dari sebuah berita yang kontroversial. Begitulah yang kita saksikan hari ini atas teror Nurdin M. Top.
Ketiga, konsumen atau masyarakat penikmat berita. Di samping sumber berita, konsumen merupakan pihak yang lemah di hadapan media. Dia tidak punya kekuasaan di hadapan media kecuali untuk memilih dua kemungkinan: mengkonsumsi atau tidak. Dia tidak mempunyai kekuasaan untuk menentukan berita. Sering sekali terjadi bahwa media dengan cerdik mengeksploitasi kebingungan dan kepenasaran masyarakat (publik) untuk suatu target keuntungan berupa peningkatan jumlah pembaca (media cetak) ataupun pemirsa (media televisi).
Keempat, komentar-komentar para tokoh masyarakat atau orang pilihan media. Biasanya tokoh-tokoh yang diminta komentarnya oleh media adalah mereka yang memang populer, otoritatif, dan terutama menguntungkan bagi media yang bersangkutan. Itulah mengapa komentar-komentar para tokoh atau orang biasa pilihan media tidak lebih merupakan bumbu penyedap rasa saja dari sebuah berita.
Fenomena Nurdin Sarat Makna Simbolik
Sekarang Nurdin telah tewas, dan [mudah-mudahan tidak terjadi lagi] mungkin tidak lama lagi akan muncul Nurdin-nurdin yang lain [atau dalam bentuknya yang lain], jika saja pemerintah, para elit, dan penegak hukum negeri ini tidak waspada terutama terhadap pemantik [akar utama] terjadinya terorisme di negeri ini, seperti ketidak adilan, korupsi, atau bertekuk lututnya negara ini di bawah pengaruh [baca: politik imprialis] Amerika, dan sebagainya. Suatu saat mungkin saja Nurdin dan para pengantinnya menjadi legenda jika saja agenda keadilan, pemberantasan korupsi di negeri tak kunjung terjadi, atau penghambaan terhadap AS tak jua dihentikan. Nurdin dapat dipastikan menjadi sosok yang mendapatkan tempat istimewa di mata masyarakat. Nurdin yang semula dipersepsikan sebagai biang keladi teror, kini setelah melihat kinerja pemerintah, para elit, dan penegak hukum di negeri ini lamban, maka bisa saja Nurdin dan para pengantinnya bergeser ke posisi yang terhormat SEBAGAI PAHLAWAN.
read more "Menafsir Fenomena Tewasnya Nurdin M. Top"

KPK Versus Kepolisian, Lalu Apa Setelah Ramadhan?


Sejatinya berpuasa selama sebulan penuh di bulan Ramadan akan memberikan dampak takwa dengan perubahan pada sikap dan perilaku individu maupun masyarakat. Tetapi seperti yang sering kita saksikan pada bulan-bulan Ramadan sebelumnya, Ramadan hanyalah sebatas bulan pengekangan kebebasan mengekspresikan hawa nafsu lapar, haus, dan ”dahaga”. Tersebab banyak di antara mereka merasakan seolah-olah telah lepas dari kekangan Ramadan, sehingga tidak mengherankan jika bulan Syawal diekspresikan bagai bulan pesta pora dan hura-hura, merayakan kebebasan dari kekangan psikologis dan sosiologis dengan beramai-ramai ”kembali” menjegal KPK. Padahal ketika Ramadan mereka tampak demikian relijius.
Gejala sosial keagamaan yang unik ini sebetulnya merupakan sinyal bahwa kehebohan berpuasa Ramadan tidak banyak memberikan pengaruh yang berarti bagi perubahan sikap dan perilaku yang sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi. Jika ingin mencari contoh terbaik dari fenomena ini, perhatikan perilaku para elit politik dan para penegak hukum di negeri ini yang notabenenya adalah Muslim. Gejala seperti ini tidak hanya terjadi pada figur-figur publik, tetapi juga menular dan berkembang di tingkat masyarakat umum. Fenomena ini menjadi dasar yang mencerminkan bahwa paham keagamaan masyarakat Islam Indonesia begitu artifisial atau lipstik semata.
Fenomena keberagamaan yang artifisial ini merupakan cermin dari cara keberagamaan yang sekuler, dimana antara waktu beribadah dipisahkan sedemikian rupa dengan waktu di luar ibadah. Dengan kata lain ketika waktunya beribadah, maka beribadahlah dengan benar. Jika waktunya ”menjegal” mereka yang memerkan kebusukan, maka lakukanlah. Paham sekuler seperti ini menyebabkan ibadah tidak memberikan dampak takwa berupa perubahan sikap dan perilaku termasuk kesungguhan segenap bangsa ini dalam memberantas korupsi.
Keberagamaan yang artifisial atau lipstik ditunjukkan dengan sikap dan perilaku yang tidak konsisten. Sikap inilah yang ditunjukkan oleh kebanyakan masyarakat muslim negeri ini sehingga ketika Ramadan tiba mereka berpuasa dan mengisi hari-harinya dengan ibadah, tetapi begitu Ramadan usai mereka kembali seperti sediakala, berbuat maksiat dan korup. Pada kasus lain, seorang elit politik yang tak terhitung kalinya menunaikan umrah dan haji, tetapi ibadanya itu sama sekali tidak dapat menggetarkan hatinya untuk tidak memakan uang rakyat dengan menghentikan perbuatan korupsinya. Bahkan mereka menggunakan harta rakyat sebagai ongkos haji, atau kepergiannya ke tanah suci dijadikan sebagai tameng agar bebas dari tekanan sosiologis sebagi koruptor.
Keberagamaan yang sekuler seperti ini seyogyanya menjadi keprihatinan bersama. Di sinilah seharusnya peran ulama seperti mereka yang tergabung dalam MUI untuk konsisten dan terus menerus menyuarakan fatwa dan menumbuhkan-kembangkan gerakan anti korupsi, dan tidak berhenti sebatas fatwa belaka atau pemberian label halal. Gerakan pertama yang mungkin bisa dilakukan MUI adalah meluruskan paham keberagamaan para elit dan penegak hukum yang mencoba memandulkan peran KPK, tersebab mereka keliru dalam menafsirkan ibadah yang [seharusnya] tidak berdasarkan atas kebutuhan lembaga maupun mood politik.
Setiap Ramadan gegap gempita dengan tarawih dan tadarus di masjid-masjid serta kegiatan-kegiatan religius lainnya, kerap dilakukan di negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia ini. Acara televisi penuh dengan ceramah-ceramah keagamaan. Pesantren kilat di mana-mana. Tetapi Indonesia masih tetap negara terkorup kelima di dunia. Dan mungkin tingkat kriminalnya juga tertinggi di seluruh negara Islam. Benar-benar paradoks.
Beberapa hari lagi bulan Ramadan akan berlalu, rasanya sebelum itu diperlukan refleksi sejauh mana kira-kira Ramadan memberikan pengaruh kepada perubahan sikap dan perilaku masyarakat dan para elit kita dalam memberantas korupsi. Apakah tuntutan puasa Ramadan yang hendak membentuk orang yang berpuasa menjadi insan yang bertakwa menjadi terbukti setelah melewati bulan yang istimewa ini? Mungkinkah terjadi perubahan sikap dan perilaku yang lebih takwa di tengah para elit kita?
Jika pertanyaan tersebut menunjukkan jawaban yang sama dengan ramadan-ramadan sebelumnya, berarti benarlah apa yang disinyalir oleh Rasulullah dalam sebuah pernyataannya yang berulangkali disitir dalam kultum, ceramah, dan khutbah Jumat di bulan ini, “Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa pun dari kegiatan puasanya selain lapar dan dahaga saja.” Wallahu a’lam
read more "KPK Versus Kepolisian, Lalu Apa Setelah Ramadhan?"

About Me

Foto Saya
Beryn Bimtihan
Guru madrasah yang baru melek teknologi, ngetik masih pake 11 jari dan seringkali mematikan komputer dengan menekan power langsung he he he, padahal saya lahir di suatu tempat yang namanya sudah tertera di "google earth", dan di tempat kelahiran saya ini ada 5 pesantren (mungkin dalam waktu dekat akan nambah menjadi 6), tuan guru, ustaz, ustazah yang saban hari setiap selesai salat 5 waktu selalu ada pengajian kitab kuning, tapi ironisnya perilaku masyarakatnya (terutama pemuda) bertolak belakang dengan "kenyataan" sebagai ikon kota santri... Di tempat kelahiranku ini, rentenir bergentayangan, pemuda putus sekolah tak terhingga, kebersihannya tak terurus, orang miskin menjadi pemandangan yang biasa, padahal para pejabat, dosen, peneliti dan para pengambil kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah banyak yang berasal dari tempat kelahiran saya ini, namun yang paling ironis adalah para Tuan gurunya sering saling menjegal, dan pada akhirnya masyarakat umumlah yang selalu menjadi korban. Namun dalam pandangan objektifitasku, hal yang saya banggakan di tempat kelahiranku ini, yakni dinamisasi dan progresifitas masyarakat pada umumnya...bravo kota santri
Lihat profil lengkapku