Followers

My Blog

Anda pengunjung ke

Vocation

Vocation
Kota tua Ampenan [bukan sisa perang]
Diberdayakan oleh Blogger.

Vocation

Vocation
Sisi lain kota tua Ampenan
Kamis, 17 September 2009

KPK Versus Kepolisian, Lalu Apa Setelah Ramadhan?


Sejatinya berpuasa selama sebulan penuh di bulan Ramadan akan memberikan dampak takwa dengan perubahan pada sikap dan perilaku individu maupun masyarakat. Tetapi seperti yang sering kita saksikan pada bulan-bulan Ramadan sebelumnya, Ramadan hanyalah sebatas bulan pengekangan kebebasan mengekspresikan hawa nafsu lapar, haus, dan ”dahaga”. Tersebab banyak di antara mereka merasakan seolah-olah telah lepas dari kekangan Ramadan, sehingga tidak mengherankan jika bulan Syawal diekspresikan bagai bulan pesta pora dan hura-hura, merayakan kebebasan dari kekangan psikologis dan sosiologis dengan beramai-ramai ”kembali” menjegal KPK. Padahal ketika Ramadan mereka tampak demikian relijius.
Gejala sosial keagamaan yang unik ini sebetulnya merupakan sinyal bahwa kehebohan berpuasa Ramadan tidak banyak memberikan pengaruh yang berarti bagi perubahan sikap dan perilaku yang sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi. Jika ingin mencari contoh terbaik dari fenomena ini, perhatikan perilaku para elit politik dan para penegak hukum di negeri ini yang notabenenya adalah Muslim. Gejala seperti ini tidak hanya terjadi pada figur-figur publik, tetapi juga menular dan berkembang di tingkat masyarakat umum. Fenomena ini menjadi dasar yang mencerminkan bahwa paham keagamaan masyarakat Islam Indonesia begitu artifisial atau lipstik semata.
Fenomena keberagamaan yang artifisial ini merupakan cermin dari cara keberagamaan yang sekuler, dimana antara waktu beribadah dipisahkan sedemikian rupa dengan waktu di luar ibadah. Dengan kata lain ketika waktunya beribadah, maka beribadahlah dengan benar. Jika waktunya ”menjegal” mereka yang memerkan kebusukan, maka lakukanlah. Paham sekuler seperti ini menyebabkan ibadah tidak memberikan dampak takwa berupa perubahan sikap dan perilaku termasuk kesungguhan segenap bangsa ini dalam memberantas korupsi.
Keberagamaan yang artifisial atau lipstik ditunjukkan dengan sikap dan perilaku yang tidak konsisten. Sikap inilah yang ditunjukkan oleh kebanyakan masyarakat muslim negeri ini sehingga ketika Ramadan tiba mereka berpuasa dan mengisi hari-harinya dengan ibadah, tetapi begitu Ramadan usai mereka kembali seperti sediakala, berbuat maksiat dan korup. Pada kasus lain, seorang elit politik yang tak terhitung kalinya menunaikan umrah dan haji, tetapi ibadanya itu sama sekali tidak dapat menggetarkan hatinya untuk tidak memakan uang rakyat dengan menghentikan perbuatan korupsinya. Bahkan mereka menggunakan harta rakyat sebagai ongkos haji, atau kepergiannya ke tanah suci dijadikan sebagai tameng agar bebas dari tekanan sosiologis sebagi koruptor.
Keberagamaan yang sekuler seperti ini seyogyanya menjadi keprihatinan bersama. Di sinilah seharusnya peran ulama seperti mereka yang tergabung dalam MUI untuk konsisten dan terus menerus menyuarakan fatwa dan menumbuhkan-kembangkan gerakan anti korupsi, dan tidak berhenti sebatas fatwa belaka atau pemberian label halal. Gerakan pertama yang mungkin bisa dilakukan MUI adalah meluruskan paham keberagamaan para elit dan penegak hukum yang mencoba memandulkan peran KPK, tersebab mereka keliru dalam menafsirkan ibadah yang [seharusnya] tidak berdasarkan atas kebutuhan lembaga maupun mood politik.
Setiap Ramadan gegap gempita dengan tarawih dan tadarus di masjid-masjid serta kegiatan-kegiatan religius lainnya, kerap dilakukan di negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia ini. Acara televisi penuh dengan ceramah-ceramah keagamaan. Pesantren kilat di mana-mana. Tetapi Indonesia masih tetap negara terkorup kelima di dunia. Dan mungkin tingkat kriminalnya juga tertinggi di seluruh negara Islam. Benar-benar paradoks.
Beberapa hari lagi bulan Ramadan akan berlalu, rasanya sebelum itu diperlukan refleksi sejauh mana kira-kira Ramadan memberikan pengaruh kepada perubahan sikap dan perilaku masyarakat dan para elit kita dalam memberantas korupsi. Apakah tuntutan puasa Ramadan yang hendak membentuk orang yang berpuasa menjadi insan yang bertakwa menjadi terbukti setelah melewati bulan yang istimewa ini? Mungkinkah terjadi perubahan sikap dan perilaku yang lebih takwa di tengah para elit kita?
Jika pertanyaan tersebut menunjukkan jawaban yang sama dengan ramadan-ramadan sebelumnya, berarti benarlah apa yang disinyalir oleh Rasulullah dalam sebuah pernyataannya yang berulangkali disitir dalam kultum, ceramah, dan khutbah Jumat di bulan ini, “Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa pun dari kegiatan puasanya selain lapar dan dahaga saja.” Wallahu a’lam

0 komentar:

About Me

Foto Saya
Beryn Bimtihan
Guru madrasah yang baru melek teknologi, ngetik masih pake 11 jari dan seringkali mematikan komputer dengan menekan power langsung he he he, padahal saya lahir di suatu tempat yang namanya sudah tertera di "google earth", dan di tempat kelahiran saya ini ada 5 pesantren (mungkin dalam waktu dekat akan nambah menjadi 6), tuan guru, ustaz, ustazah yang saban hari setiap selesai salat 5 waktu selalu ada pengajian kitab kuning, tapi ironisnya perilaku masyarakatnya (terutama pemuda) bertolak belakang dengan "kenyataan" sebagai ikon kota santri... Di tempat kelahiranku ini, rentenir bergentayangan, pemuda putus sekolah tak terhingga, kebersihannya tak terurus, orang miskin menjadi pemandangan yang biasa, padahal para pejabat, dosen, peneliti dan para pengambil kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah banyak yang berasal dari tempat kelahiran saya ini, namun yang paling ironis adalah para Tuan gurunya sering saling menjegal, dan pada akhirnya masyarakat umumlah yang selalu menjadi korban. Namun dalam pandangan objektifitasku, hal yang saya banggakan di tempat kelahiranku ini, yakni dinamisasi dan progresifitas masyarakat pada umumnya...bravo kota santri
Lihat profil lengkapku