Followers

My Blog

Anda pengunjung ke

Vocation

Vocation
Kota tua Ampenan [bukan sisa perang]
Diberdayakan oleh Blogger.

Vocation

Vocation
Sisi lain kota tua Ampenan
Sabtu, 14 Mei 2011

Pluralisme “?” Masih Pentingkah Kita Berbeda?

Di tengah kisruh serta pengalaman konflik identitas agama dan golongan di Indonesia, film “?” hadir. Jalinan pita garapan Hanung Bramantyo ini menyadarkan bahwa kemajemukan Indonesia berdimensi gelap-terang.

Mega berbeda adalah kaya sekaligus bahaya. Berbhineka harus selalu dijaga bagi masyarakat yang terus mencitakan “Ika”. Ini film penting di kala kemajemukan semakin genting.“?” menceritakan pluralitas masyarakat Semarang. Islam, Kristen, Kong Hu Cu, Jawa dan Tionghoa, semuanya bersatu, berdinamika dalam perbedaan.

Ada Rika (diperankan oleh Endhita), perempuan yang memutuskan bercerai, menjadi single parent. Rika harus melawan stigma masyarakat yang menilainya sebagai pengkhianat kesucian pernikahan dan Tuhan. Keyakinan jujur dari hati memberanikannya berpisah dari suami yang berpoligami. Perceraian bukan hal yang dibenci Tuhan saat keegoisan suami telah hadirkan siksa batin dan merusak prinsip kemitraan setara dalam rumah tangga. Lalu, pengembaraan iman Rika memantapkannya untuk tinggalkan Islam, memilih Katolik. Hebatnya, ia tak memaksa pendidikan agama anaknya yang tetap beragama Islam.

Melalui tokoh Surya (Agus Kuncoro), kelenjar air mata penonton dibuat bekerja saat mengikuti suka-duka pergulatan tauhidnya. Sebagai aktor figuran tak sukses, Surya terpaksa mencari uang dengan memerankan Yesus dan Santa Claus di setiap ritus keagamaan Katolik. Pragmatisme Surya malah semakin menguatkan keimanannya sebagai muslim. Pilihan perannya justru menjadi perlambang sosial hubungan antar umat beragama yang intim. Kita akan tertawa geli saat melihat Surya memakai ruang masjid untuk berlatih seni peran sebagai Yesus. Kita pun tak tahan mencegah tangis, saat Abi, seorang bocah Katolik yang sakit keras, menginginkan kado natal pada Surya yang berkostum Santa Claus, agar Abi cepat dipanggil Tuhan, karena Abi tak mau menyusahkan ayah dan ibu.

Lalu ada Menuk (Revalina S. Temat), muslimah taat yang bekerja sebagai pelayan makanan di “Canton Chinese Food”. Tak lupa kewajiban sembahyang di sela waktu kerja, Menuk memberikan keramahan sungguh dan penjelasan utuh mengenai menu halal kepada pembeli.

Pemilik “Canton Chinese Food”, Tan Kut San (Hengky Solaiman), adalah seorang Tionghoa pemilik beragama Kong Hu Cu. Ia membedakan perabot masak dan pelayanan makanan dengan wawasan fiqh halal-haram. Pemahamannya pada Islam ia terapkan juga dengan memberikan waktu sembahyang bagi pegawainya yang muslim. Di bulan Ramadan, Tan menutup jendela restoran dengan tirai untuk menghormati yang berpuasa. Saat Idul Fitri Tan tidak membuka restoran sebagai pemenuhan hak berlebaran bagi pegawainya yang muslim.

Juga Soleh (Reza Rahadian) dan Ping Hen (Rio Dewanto) yang terjebak pada streotipe patriarki Islam dan Tionghoa, bahwa laki-laki adalah pemimpin dan harus kuat. Semuanya berinteraksi seiring pasang-surut toleransi kehidupan masyarakat berbhineka. Hingga akhirnya mereka belajar untuk terus tumbuh sebagai manusia yang bermanfaat pada sesama, apapun agamanya.

Melalui semua penokohan tersebut kita menemukan kuatnya kedewasaan iman. Sejatinya, iman yang dewasa tak menutup perbedaan. Ia meyakini, dari interaksi perbedaan, keimanan akan terus tumbuh menuju keutuhan. Kurang lebih, itulah makna pluralisme agama.

Secara umum, pluralisme merupakan hal yang banyak dari kita merasakan maknanya, tapi tak mengerti pemaknaannya. Padahal, bila kita bisa sadari, hidup di negara berbhineka seperti Indonesia, sangat mungkin kita dibesarkan oleh asuhan pluralisme.

“?” MUI
Sayangnya, sikap pluralisme yang digambarkan “?” tak direstui pihak yang juga menjadi bagian dari kebhinekaan Indonesia. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang budaya, Cholil Ridwan, mengatakan bahwa pluralisme merupakan paham yang telah difatwa haram MUI di tahun 2005. Bagi Cholil, sebagai film, otomatis “?” pun haram karena mengkampanyekan pluralisme.

Pluralisme dinilai haram oleh MUI karena paham tersebut mencampuradukan agama, sehingga membahayakan keyakinan umat beragama (Islam)—www.voa-islam.com (2010/01/18). Fatwa MUI No. 7/Munas VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekulerisme Agama menuliskan pada ketentuan hukum: Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk lain. Kemudian dalam ketentuan umum, MUI menjelaskan bahwa Islam hanya mengakui pluralitas, bukan pluralisme.

Fatwa MUI tersebut mendorong masyarakat yang mengamininya untuk bersikap pasif terhadap fakta kemajemukan. Pernyataan “Islam hanya mengakui pluralitas (tidak untuk pluralisme)” berarti hanya cukup puas terhadap perbedaan saja. Bagi pihak ini, perbedaan tak perlu disikapi secara interaktif, apalagi intim.

Pluralitas memang merupakan keniscayaan nyata. Namun dimensi gelap-terangnya akan muncul silih berganti, seiring pemahaman ragam pihak di dalamnya. Kita semua harus menyadari ini. Di samping kekayaan, pluralitas mengandung potensi bencana. Hal yang mudah dimengerti jika kita yang sama lebih mungkin didekatkan bersatu, dibanding kita yang berbeda. Sebaliknya, banyak perbedaan lebih mungkin menghadirkan konflik dibandingkan sama dan seragam.

Karena ambivalensi itu, pluralitas memerlukan pluralisme. Diperlukan sikap toleran, keterbukaan, dan kesetaraan antara kita semua yang menyertai perbedaan. Tak ada dari kita yang sempurna. Tak ada yang lebih tinggi. Isme-pluralis menempatkan diri dan kelompok sebagai entitas kurang yang membutuhkan diri dan kelompok lain. Ini merupakan dorongan yang sangat kuat dalam menciptakan kerukunan antar perbedaan di masyarakat.

Bila pluralitas masyarakat mengikuti pemahaman MUI, skenario “?” bisa kita rubah. Rika akan terus menderita dengan keyakinan Islam yang merestui suaminya berpoligami. Selamanya Surya menjadi aktor figuran melarat tak bermanfaat, karena agamanya melarang membantu pelaksanaan ibadah pemeluk agama lain. Menuk tak akan bekerja di “Canton Chinese Food”, sehingga tak ada dialog intim Islam-Kong Hu Cu di restoran itu. Tan Kut San tak akan memahami Islam, sehingga tak ada pelayanan makanan halal bagi muslim, dan penghormatan bulan Ramadan serta Idul Fitri. Selamanya Soleh dan Ping Hen terjebak pada streotipe patriarki Islam dan Tionghoa, bahwa laki-laki adalah pemimpin dan harus kuat, lalu menindas etnis dan pemeluk agama yang berbeda. Sungguh, paham MUI yang menginginkan hubungan pluralitas berkonflik itu menjadi “tanda tanya”, mengingat adanya kata “Indonesia” yang menyertai namanya.

Bisa dibayangkan. Bila kita semua menggunakan jalan pikir MUI tersebut, lambat laun keragaman Indonesia akan hilang satu persatu. Tirani identitas (yang mengatasnamakan) mayoritas akan mendominasi masyarakat, menetapkan standar iman sektarian sebagai aturan bersama. Saat berpijak pada pengharaman pluralisme, kita akan yakin menjawab pertanyaan tagline film “?” yang berbunyi, “masih pentingkah kita berbeda?”. Jawabannya: tidak! []

Oleh: Usep Hasan Sadikin (Penikmat filmdan Penggiat di Yayasan Jurnal Perempuan)
read more "Pluralisme “?” Masih Pentingkah Kita Berbeda?"
Senin, 09 Mei 2011

Inpassing Jabatan Fungsional Guru Non PNS (GBPNS) Tahun 2011

Pengertian dan Tujuan
1.     Inpassing GBPNS adalah proses penyetaraan jabatan dan kepangkatan GBPNS dengan jabatan dan kepangkatan Guru Pegawai Negeri Sipil.
2.     Inpassing (Penetapan jabatan fungsional GBPNS dan angka kreditnya) dibutuhkan untuk:
(a) menetapkan kesetaraan jabatan, pangkat/ golongan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (b) tertib administrasi GBPNS; (c) memberikan tunjangan profesi, tunjangan khusus dll. (kesejahteraan).

Persyaratan Inpassing
1.     Memiliki kualifikasi akademik minimal S-1 atau D-IV (syarat kualifikasi tdk berlaku bagi yang sudah lulus sertifikasi);
2.     Guru tetap pada satuan pendidikan formal;
3.     Masa kerja sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun secara terus menerus pada 1 (satu) satuan pendidikan pada tanggal 30 Desember 2007, dan masih aktif melaksanakan tugas sebagai guru sampai saat ini;
4.     Usia setinggi-tingginya 59 tahun pada saat diusulkan.
5.     Memiliki NUPTK yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional.
6.     Memiliki beban kerja minimal 24 jam tatap muka per minggu dengan ketentuan: minimal 6 jam tatap muka pada satminkal.
7.     Melampirkan syarat-syarat administratif

Dasar Penetapan dan Jenjang Jabatan Fungsional Hasil Inpassing
1.     Inpassing Jabatan Fungsional GBPNS dan Angka Kreditnya ditetapkan berdasarkan dua hal, yaitu:
a.     kualifikasi akademik; dan
b.     masa kerja.
2.     Jenjang jabatan fungsional hasil inpassing adalah:
a.     Guru Madya;
b.    Guru Madya Tk. I;
c.    Guru Dewasa;
d.    Guru Dewasa Tk. I
e.    Guru Pembina.

Teknik Penghitungan Angka Kredit Inpassing
1.     GBPNS yang sudah lulus sertifikasi pengajuan inpassing-nya WAJIB sesuai dengan sertifikat pendidikan yang dimiliki;
2.     Angka kredit hasil inpassing dikurangi 25 poin bila GBPNS mis match, yaitu ijazah yang dimiliki tdk sesuai dengan tugas mengajarnya;
3.     GBPNS yang berijazah SLTA, masa kerjanya dikurangi 5 tahun bila ybs memeproleh ijazah S-1 setelah mengajar selama 5 tahun atau lebih;
4.     GBPNS yang berijazah SLTA, masa kerjanya diperhitungkan sejak yang bersangkutan mendapatkan S-1, bila S-1nya diperoleh  kurang dari lima tahun dari TMT-nya;
5.     GBPNS yang berijazah D-III, masa kerjanya dikurangi 2 tahun bila ybs memperoleh ijazah S-1 setelah mengajar 2 tahun atau lebih.

Catatan
1.    Inpassing GBPNS tidak ada kaitannya dengan pengangkatan PNS/CPNS dan tidak ada tunjangan Inpassing;
2.    Inpassing GBPNS dilaksanakan dan diselesaikan di tahun 2011;
3.    Guru RA/Madrasah yang sudah mendapatkan SK Penetapan Inpassing dari Kementerian Pendidikan Nasional, SK Penetapannya berlaku dan tidak perlu mengajukan inpassing ulang;
4.    Sementara yang sudah pernah mengajukan, tetapi belum keluar SK Penetapannya, maka harus mengajukan kembali ke Kementerian Agama dengan syarat sebagaimana telah diatur.
5.    Para Kabid Agar melakukan tindakan seperlunya, termasuk mengalokasikan anggarannya;


JADWAL KEGIATAN INPASSING GBPNS

NO
Kegiatan
Waktu
Keterangan
1
Sosialisasi ke Kemenag kab/kota
1-30 April 2011

2
Sosialisasi ke Madrasah/Pengawas
1-15 mei 2011

3
Pembentukan Tim Pokja Kanwil
1-30 April 2011

4
Pembentukan Tim Pokja kab/Kota
1-15 Mei 2011

5
Penerimaan&Pemeriksaan Berkas di Kab/Kota
8 Juli 2011
Batas Ahir
Warna Map :
RA    = Merah
MI    = Kuning
MTs  = Hijau
MA   = Biru
6
Dokumentasi Data Base di Kab/Kota
15 Juli 2011
Batas Akhir
7
Penerimaan Dokumen /Berkas di Kanwil Kemenag Prov
16 – 22 Juli 2011

8
Pemeriksaan Dokumen di Kanwil Kemenag Prov
23 Juli – 2 Sep 2011

9
Pengiriman Dokumen dan Hasil Penilaian ke Direktorat Madrasah
3 – 16 Sept 2011

10
Verifikasi dan Penilaian di Direktorat Madrasah
17 Sept – 28 Okt 2011

11
Pengiriman Dokumen yg telah selesai dinilai ke Biro kepegawaian
20 Nov 2011

12
Verifikasi dan Validasi oleh Biro Kepegawaian
21 Nov – 16 Des 2011

13
Penerbitan SK inpassing oleh Biro Kepegawaian
17 – 24 Des 2011

14
Pengiriman SK ke Kanwil dan Kemenag Kab/Kota 26 – 31 Des 2011
26-31 Des 2011

read more "Inpassing Jabatan Fungsional Guru Non PNS (GBPNS) Tahun 2011"
Minggu, 08 Mei 2011

Jangan-Jangan Kitalah yang "NII"

Hingar bingar kontroversi pembangunan gedung DPR seakan tertelan bulat-bulat dengan kemunculan bom bunuh diri dan merebaknya kasus orang hilang yang diduga kuat dilakukan oleh gerakan NII.
NII (Negara Islam Indonesia) yang dicetuskan Kartosuwiryo puluhan tahun silam sampai hari ini masih menyisakan tanda tanya besar, mengingat keterkaitan gerakan ini dengan tingkah polah "segelintir" orang yang sepertinya mengatasnamakan NII--terlepas dari mendiasporanya NII menjadi KW9 atau yang lainnya.
Munculnya NII atau gerakan-gerakan lain di bumi Indonesia ini mestinya tidak dilihat sebagai sesuatu yang "haram", melainkan diakomodir sebagai pemikiran yang hidup, dan diberikan ruang ekspresi dan dialog dengan gerakan atau pemikiran lain sehingga nanti dapat memunculkan pemikiran alternatif. Sebab sekeras atau selunak apapun suatu gerakan atau pemikiran, maka waktu jualah yang akan menentukan keeksisannya.
Sepak terjang NII--seperti yang terberitakan media--yang misiolinis dengan biasan merampok, mencuri, dan menghipnotis para "korbannya" setidaknya menjejakkan beberapa hal, pertama terjadi pembusukan terhadap gerakan-gerakan yang mengatasnamakan agama, dan dianggap akan merong-rong eksistensi NKRI. Kedua, sebagai salah satu desain dari skenario besar dalam rangka mempekatkan kabut asap agar masyarakat "merem" dari persoalan utama di negeri ini. Ketiga, hilangnya kesabaran "mantan" anggota NII dalam mewujudkan cita-citanya sehingga menghalalkan segala cara demi mengumpulkan dana segar guna membiayai gerakan yang massif. Keempat, keserakahan dari orang-orang yang demikian hedonis dan menjadikan "NII" sebagai mesin pencari keuntungan.
Penjejakan "NII" ini menyiratkan satu hal bahwa, bayangan kelamnya sudah melekat erat dalam diri masing-masing kita. Ibarat tangan yang menunjuk, jika "NII" itu jari telunjuk maka jari tengah, jari manis, dan jari kelingking adalah kita sendiri. Atau gumaman lain, jangan-jangan kitalah "NII" yang sebenarnya. Diri kitalah yang tak sadar dan telah lama membusukkan orang lain. Kitalah yang sering tidak jujur dan menutup-nutupi segala sesuatu dengan kepura-puraan, seperti berpura-pura menyembah Tuhan tetapi jauh di dasar hati menginginkan surga-Nya.
Atau mungkin, kitalah yang tidak kuat menunggu datangnya kenikmatan, sehingga sesegera mungkin mereguk kenikmatan itu tanpa mengindahkan cara. Lantas membuat kita serakah dan menjadikan orang lain menjadi tidak layak...
Jangan-jangan kitalah yang "NII" itu yang membangun masjid, islamic center, mushalla, madrasah di atas kesusah-payahan orang lain, dengan dalih agama, dengan ayat-ayat hipnotis, dengan kharisma palsu, dengan sumbangan "wajib", atau dengan undang-undang sepihak.
Jangan-jangan kitalah yang "NII" sejati... yang memotong dan mengamputasi hak orang lain tanpa ampun...

Mataram | 01.40 dini hari
read more "Jangan-Jangan Kitalah yang "NII""

About Me

Foto Saya
Beryn Bimtihan
Guru madrasah yang baru melek teknologi, ngetik masih pake 11 jari dan seringkali mematikan komputer dengan menekan power langsung he he he, padahal saya lahir di suatu tempat yang namanya sudah tertera di "google earth", dan di tempat kelahiran saya ini ada 5 pesantren (mungkin dalam waktu dekat akan nambah menjadi 6), tuan guru, ustaz, ustazah yang saban hari setiap selesai salat 5 waktu selalu ada pengajian kitab kuning, tapi ironisnya perilaku masyarakatnya (terutama pemuda) bertolak belakang dengan "kenyataan" sebagai ikon kota santri... Di tempat kelahiranku ini, rentenir bergentayangan, pemuda putus sekolah tak terhingga, kebersihannya tak terurus, orang miskin menjadi pemandangan yang biasa, padahal para pejabat, dosen, peneliti dan para pengambil kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah banyak yang berasal dari tempat kelahiran saya ini, namun yang paling ironis adalah para Tuan gurunya sering saling menjegal, dan pada akhirnya masyarakat umumlah yang selalu menjadi korban. Namun dalam pandangan objektifitasku, hal yang saya banggakan di tempat kelahiranku ini, yakni dinamisasi dan progresifitas masyarakat pada umumnya...bravo kota santri
Lihat profil lengkapku